KETEGANGAN POLITIK DAN HALAL BIHALAL

Oleh: Muhammad Ali Muhsin Rofiey Notonegoro, Ama.Spd.I .

Wakil Sekretaris MD KAHMI Kabupaten Pamekasan.

Konon, tradisi halal bihalal mula-mula dirintis oleh *KGPAA Mangkunegara* I (lahir 8 April 1725), Raja Arya Mangkunegara I (nama lahir *Raden Mas Said* ) pendiri Kadipaten Mangkunegaran Surakarta, Jawa Tengah, yang terkenal dengan sebutan

*Pangeran Sambernyawa* 

Untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah salat Idul Fitri diadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. Apa yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru oleh organisasi-organisasi Islam dengan istilah halal bihalal. Kemudian instansi-instansi pemerintah/swasta juga mengadakan halal bihalal, yang pesertanya meliputi warga masyarakat dari berbagai pemeluk agama.Ada juga yang mengatakan bahwa istilah Halal bihalal di populer di Solo pada tahun 1930-an ketika seorang penjual martabak di Taman Sriwedari menggunakan istilah ‘Halal Bihalal’ untuk mempromosikan produknya.

*Ayung Notonegoro* menjelaskan bahwa istilah halal bihalal ada dalam manuskrip babad Cirebon, Jawa, Pasai, dan Demak, sebetulnya kegiatan _halal bihalal_ sudah terjadi pada abad ke-15, yaitu pada masa Walisongo. Waktu itu Walisongo memanfaatkan ritualnya.

*Dharma Sunya* bagi pemeluk Kapitayan. Setahun sekali mereka punya tradisi saling menghilangkan kesalahan. Istilah halal bihalal juga terdapat pada majalah Soeara Moehammadijah edisi nomor 5 tahun 1924 yang terbit sekitar April 1924. Majalah edisi tersebut dipublikasikan menjelang Idul Fitri tahun 1924 yang saat itu jatuh pada tanggal 6 Mei 1924. Majalah Soeara Moehammadijah pada 1 Syawal 1344 H atau pada tahun 1926 menulis “Alal Bahalal”. 

PadaTahun 1948 ketika masih dalam era Revolusi, Bung Karno menyadari bahwa adanya ketegangan antar elit politik kala itu. Adu ide dan gagasan antar elit terkadang sampai mengeraskan urat leher. Bung Karno merasa bahwa situasi ini kurang bagus untuk Negara yang baru berdiri. Perlu adanya pencairan suasana atas kondisi “panas” antar elit politik. Kondisi politik negara pada saat itu betul betul genting hingga presiden Soekarno minta pendapat KH. Wahab Chasbullah Hasbullah untuk bersilaturahmi tapi bung Karno tidak mau karena istilah silaturahmi sudah biasa, untuk menyatukan elit politik ketika itu semua elit politik di buatkan acara dengan bersilaturahmi (Halal bihalal)dengan kemasan bahasa Halal bihalal maka muncullah istilah halal bihalal Namun gagasan itu sempat menuai kritik dari Presiden Soekarno “Silaturahim kan biasa, saya ingin istilah yang lain.”“Itu gamapang,” kata KH. Wahab Chasbullah asbullah “Begini, para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturahim nanti kita pakai istilah ‘halal bihalal’, jelas KH. Wahab Chasbullah.

Dalam konteks halalbihalal, *Speaking Truth* sebagai mekanisme rekonsiliasi adalah sikap timbal-balik untuk mengakui segala kesalahan dan permaafan. Bukan perkara mudah untuk berendah hati mengakui kesalahan dan meminta maaf termasuk memaafkan orang lain. Hanya orang yang memiliki kebesaran jiwa yang sanggup melakukannya. Halal bi Halal menyediakan kesempatan bagi setiap orang, termasuk para politisi, untuk mengakui kesalahan dan membuka pintu maaf karena pada akhirnya tidak ada seorang pun yang luput dari kesalahan. 

Tidak perlu membayangkan seorang politisi berdiri di sebuah forum resmi dan membuat pengakuan tindakan-tindakan dalam melakukan kecurangan, mengorkretrasi penyebaran kebencian hingga plot pembunuhan. Namun, jika semua pihak memanfaatkan momentum Halal bi Halal untuk secara jujur mengakui kesalahan-kesalahannya dan memohon maaf atas apa yang dilakukannya, itu akan menjadi langkah penting dalam membangun harmoni dan persatuan.Prof Dr Muhammad Quraish Shihab dalam bukunya _Membumikan Al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (1999)_ menurut beliau ada beberapa aspek untuk memahami istilah yang digagas oleh KH Abdul Wahab Chasbullah tentang halal bihalal. 

 *Pertama*, dari segi hukum fikih. Halal yang oleh para ulama dipertentangkan dengan kata haram, apabila diucapkan dalam konteks halal bihalal memberikan pesan bahwa mereka yang melakukannya akan terbebas dari dosa.Dengan demikian, halal bihalal menurut tinjauan hukum fikih menjadikan sikap yang tadinya haram atau yang tadinya berdosa menjadi halal atau tidak berdosa lagi. Ini tentu baru tercapai apabila persyaratan lain yang ditetapkan oleh hukum terpenuhi oleh pelaku halal bihalal, seperti secara lapang dada saling maaf-memaafkan. 

Masih dalam tinjauan hukum fikih. Menurut para fuqaha, istilah halal mencakup pula apa yang dinamakan makruh. Di sini timbul pertanyaan, “Apakah yang dimaksud dengan istilah halal bihalal menurut tinjauan hukum itu adalah adanya hubungan yang halal, walaupun di dalamnya terdapat sesuatu yang makruh?

Secara istilah ( terminologis ), kata makruh berarti sesuatu yang tidak diinginkan. Dalam bahasa hukum fikih, makruh adalah suatu perbuatan yang tidak dianjurkan oleh agama. Walaupun jika dilakukan tidak mengakibatkan dosa, tapi dengan meninggalkan perbuatan itu, pelaku akan mendapatkan ganjaran atau pahala.

Atas dasar pertimbangan terakhir ini, Prof Quraish Shihab tidak cenderung memahami kata halal dalam istilah halal bihalal dengan pengertian atau tinjauan hukum. Sebab, pengertian hukum tidak mendukung terciptanya hubungan harmonis antar-sesama.

*Kedua* , Tinjauan bahasa ( _linguistik_ ). Kata halal dari segi bahasa terambil dari kata halla atau halala yang mempunyai berbagai bentuk dan makna sesuai rangkaian kalimatnya. Makna-makna tersebut antara lain, menyelesaikan problem atau kesulitan atau meluruskan benang kusut atau mencairkan yang membeku atau melepaskan ikatan yang membelenggu. Dengan demikian, jika memahami kata halal bihalal dari tinjauan kebahasaan ini, seorang akan memahami tujuan menyambung apa-apa yang tadinya putus menjadi tersambung kembali. Hal ini dimungkinkan jika para pelaku menginginkan halal bihalal sebagai _instrumen_ silaturahim untuk saling maaf-memaafkan sehingga seseorang menemukan hakikat Idul Fitri.

*Ketiga* , tinjauan Qur’ani. Halal yang dituntut adalah halal yang baik (thayyib), yang baik lagi menyenangkan. Dengan kata lain, Al-Qur’an menuntut agar setiap aktivitas yang dilakukan oleh setiap Muslim merupakan sesuatu yang baik dan menyenangkan bagi semua pihak.Inilah yang menjadi sebab mengapa Al-Qur’an tidak hanya menuntut seseorang untuk memaafkan orang lain, tetapi juga lebih dari itu yakni berbuat baik terhadap orang yang pernah melakukan kesalahan kepadanya.

Dari semua penjelasan di atas dapat ditarik simpul bahwa halal bihalal menuntut pelaku yang terlibat di dalamnya agar menyambung hubungan yang putus, mewujudkan keharmonisan dari sebuah konflik, dan berbuat baik secara berkelanjutan.

Pesan yang berupaya diwujudkan Kiai Wahab Chasbullah melalui tradisi halal bihalal lebih dari sekadar saling memaafkan, tetapi mampu menciptakan kondisi di mana persatuan di antar-anak bangsa tercipta untuk peneguhan bangsa dan negara .

Halal bihalal lebih dari sekadar ritus keagamaan, tetapi juga kemanusiaan, kebangsaan, dan tradisi yang positif karena mewujudkan kemaslahatan bersama.Kultur yang diilhami oleh nilai Islam ini jangan dibuang dan perlu kita pertahankan. Sebab, setelah umat Muslim disucikan pada bulan Ramadan maka penyucian tersebut belum sempurna apabila tidak mendapatkan maaf dari sesama. Dengan kata lain, suci kepada Allah maka suci juga kepada sesama. 

*Billahitaufiq Wal Hidayah*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *