Oleh: Muhammad Ali Muhsin Rofiey Notonegoro, Ama.Spd.I
Wakil Sekretaris MD KAHMI Kabupaten Pamekasan
Menurut Prof. Dr. Nurcholish Madjid, M.A. Ulama menduduki posisi penting dalam masyarakat Islam. Ulama tidak hanya sebagai figur ilmuan yang menguasai dan memahami ajaran-ajaran agama, tetapi juga sebagai penggerak, motivator dan dinamisator masyarakat ke arah pengembangan dan pembangunan umat. Perilaku ulama selalu menjadi teladan dan panutan. Ucapan ulama selalu menjadi pegangan dan pedoman.
Ulama dalam pandangan Nurcholish Madjid adalah menjaga akhlaq masyarakat. Pengetahuan dan pendalaman tentang ajaran agama yang dimilikinya memungkinkan para ulama bertindak selaku kekuatan moral yang kedua adalah mereka yang memahami dengan penuh penghayatan gejala-gejala alam sekitarnya seperti hujan (meteorologi), tetumbuhan (flora), fenomena geologis gunung-gunung (mineralogi), gejala kemanusiaan (ilmu-ilmu sosial), dan binatang-binatang (fauna) dengan berbagai variasi dan kompleksitasnya. Hal ini berarti bahwa seorang ulama tidak memisahkan ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai moral religius.
Antara ilmu dan etika, kesemuanya adalah satu kesatuan mutlak. Ilmu dan aktivitas keilmuan merupkan manifestasi dari pengabdian manusia kepada Tuhan.
Konsep ulama menurut: Muhammad Quraish Shihab dalam karyanya Tafsir Al-Misbah adalah seorang yang memiliki pengetahuan yang jelas terhadap agama, Al-Qur’an, ilmu fenomena alam. Pengetahuan tersebut mengantarkan seseorang memiliki rasa khasyyah (takut) kepada Allah. Ulama juga mempunyai kedudukan sebagai pewaris Nabi yang mampu mengemban tugas-tugasnya serta memiliki derajat yang tinggi di sisi Allah.
Namun, relevansi dalam kehidupan sekarang yang lebih sering mengaitkan atau membatasi pengertian ulama hanya kepada para kiai, ustadz dan pendakwah adalah berbeda dengan pemahaman Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, MA., Karena pembatasan itu terkadang mengantarkan pada kekeliruan dan kesalahan dalam menilai seseorang. Kecuali gelar tersebut memang disematkan kepada seseorang yang memang secara ilmu agama mumpuni dan mempunyai akhlak yang baik terhadap kehidupan bersama.
Oleh karena itu, konsep ulama menurut Quraish Shihab adalah mengacu pada sifat-sifat, bukan hanya sekadar pada gelar atau atribut lahiriah. Cara pandang tersebut akan lebih sesuai dalam semangat agama, bahwa kemuliaan bukan dikarenakan gelar atau jabatan tertentu, melainkan dengan ketakwaan dan kecintaan manusia kepada Allah dilengkapi dengan ilmu agama yang mumpuni yang dengan ilmu itu mempunyai dampak positif terhadap kehidupan manusia secara umum. Ini menunjukkan bahwa ulama juga termasuk kaum intelektual yang membawa pencerahan kepada masyarakat sekitarnya.
Badaruddin Hsukby dalam bukunya “Dilema Ulama dalam Perubahan Zaman (1995) mengungkapkan definisi ulama menurut para Mufassir Salaf” di antarannya;
Pertama , menurut Imam Mujahid berpendapat bahwa ulama adalah orang yang hanya takut kepada Allah SWT. Malik bin Anas pun menegaskan bahwa orang yang tidak takut kepada Allah bukanlah ulama.
Kedua , pendapat _Hasan Basri_ bahwa ulama ialah orang yang takut kepada Allah dikarenakan perkara ghaib, suka terhadap sesuatu yang disukai Allah, dan menolak segala sesuatu yang dimurkai Allah.
Ketiga , pendapat _Ali Ash-Shabuni_ bahwa ulama adalah orang yang rasa takutnya kepada sangat mendalam dikarenakan ma’rifatnya.
Keempat , menurut Ibnu Katsir yang menyebutkan ulama adalah yang benar-benar ma’rifatnya kepada Allah sehingga mereka takut kepadanya. Jika ma’rifatnya sudah mendalam, maka sempurnalah takut kepada Allah.
Kelima, Syekh Nawawi Al-Bantani yang berpendapat bahwa ulama adalah orang-orang yang menguasai hukum syara’ untuk menetapkan sah itikad maupun amal syari’at lainnya. Dalam hal ini, Wahbah Zuhaili berkata bahwa secara naluri ulama ialah orang-orang yang mampu menganalisa fenomena alam untuk mengubah hidup dunia dan akhirat serta takut ancaman Allah jika terjerumus ke dalam kenistaan.
Orang-orang maksiat hakikatnya bukan ulama. Kelima definisi dari para Mufasir Salaf tersebut, bisa ditarik benang merah yakni ulama ialah orang yang takut kepada Allah SWT. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan dalam QS Al-Fathir ayat 28: innama yakhsyallaha min ibadihil ulama (sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para Ulama). Ulama itu ada bahasa Arab ada bahasa Indonesia . Kalau dalam bahasa Arab العلماء jamaknya عالم yang mempunyai arti orang yang berilmu.
Secara etimoligi, alim adalah orang yang berilmu dan ulama adalah orang-orang yang berilmu. Ilmu apa saja, tanpa ada pembedaan antara ilmu agama dan ilmu lainnya. Ulama sebagai kata serapan ke dalam bahasa Indonesia, mengalami pergeseran makna, setidaknya dari ‘jamak” menjadi tunggal (mufrad).
Dengan demikian, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ulama bukan lagi kategori kata jamak, melainkan kata tunggal menunjuk pada orang seorang. Jika dipandang sebagai makna umum, orang-orang yang berpengetahuan, maka setiap individu yang mempunyai pemahaman terhadap bidang kajian tertentu dipandang seharusnya juga disebut sebagai ulama.
“Secara bahasa, (ulama itu) orang yang mempunyai pengetahuan. B.J.Habibie itu minal ulama, Todung Mulya Lubis ya ulama, Albert Einstein ulama, Galileo Galilei ulama, karena alim itu orang yang memiliki pengetahuan, ilmu pengetahuan apa saja (KH. Mustafa Bisri) Orang yang mengukur Ulama itu Ilmunya dan prilakunya (lakunya) orang yang alim itu orang yang mengamalkan ilmunya.”
Orang yang alim itu orang yang mengamalkan ilmu bukan mengetahui Ilmunya tahu ini baik itu di kerjakan tahu itu buruk di tinggalkan. Banyak wacana ulama yang diketahui dan diyakini oleh khalayak masyarakat umum.
Ulama dari perspektif sosiologi, yaitu ulama yang diangkat oleh masyarakat sekitar. Karena keilmuan dan kharismanya, masyarakat beranggapan bahwa orang tersebut pantas menyandang predikat ulama.
“Menurut sosiolog Arief Budiman, ulama itu, kiai itu, ada yang produk masyarakat, karena masyarakat melihat ilmunya, lakunya, maka masyarakat menyebut dia ulama atau kiai,”
Pada umumnya, ulama atas persepektif sosiologi ini cenderung lebih menjamin atas terjadinya nilai ulama yang sebenarnya. Masyarakat melihat kepada kedalaman ilmu, tingkah laku, dan kharisma yang tersemat dengan sendirinya. Ulama dalam perspektif ini tidak memerlukan legitimasi legal, namun bukan tidak mungkin, karena suatu problematika, ulama ini tercoreng oleh perilaku di luar syariat Islam. Maka unsur keulamaannya menjadi gugur dengan sendirinya.
Ada ulama produk pers, yaitu ulama yang dibikin oleh aliansi pers. Media yang memberikan predikat ulama kepada seseorang sehingga pada orang tersebut melekat sebutan ulama. Ulama produk pers banyak sekali jumlahnya.
“Ada yang produk pers, karena pers menyebut-nyebutnya sebagai ulama, maka terbentuk *opini* sebagai ulama dan ini banyak sekali”.
Realitasnya, pers atau media seringkali menjustifikasi seseorang sebagai ulama, umumnya, karena ketenarannya. Tidak perlu melakukan riset yang lebih mendalam. Jika ada seseorang yang secara kasat mata dipandang sebagai ulama, maka pers dengan serta-merta mengangkat orang tersebut sebagai ulama. Jadi ulama pers tidak distandarisasi sebagai orang yang paham agama (Islam) dengan perilaku yang mencerminkan ulama (juga). Pers memandang orang ini dari aspek kemasyhurannya dan memberikan efek “laku” terhadap media yang dimiliki.
Ada ulama produk politik, adalah ulama yang sengaja diciptakan oleh *politikus* untuk sebuah tujuan. Biasanya, tujuan dari “ulama politisi” ini sudah sangat jelas, demi membangun cita-cita politik dalam kelompok politik itu sendiri. Ulama model politisi akan memberikan fatwa atau ungkapan-ungkalan ke-fatwa-an sesuai dengan kemauan partai.
Dengan berbagai dalih, atau cara apa pun diformulasi agar sebuah kebijakan partai sejalan dengan kaidah syariat. Maka pada akhirnya, cara apa pun yang digunakan akan dianggap sebagai bagian dari prestasi keagamaan.
Ulama yang politisi, atau politisi yang ulama, ini akan memberikan fatwa atau persepsi hukum yang akan membawa kemanfaatan bagi partainya. Oleh karena itu, ulama produk politikus ini selalu dan senantiasa membangun tuturan dan ujaran yang mendorong terhadap kebijakan partai. Dicari segala cara dan jalan, agar kebijakan partai sejalan dengan yang diinginkan. Memutar-balikkan ayat al-Quran, membangun keselarasan hadits, demi terjalinnya kebijakan partai.
Ada ulama bentukan pemerintah, dalam hal ini adalah ulama yang diangkat oleh pemerintah. Manjlis Ulama Indonesia (MUI) adalah temasuk dalam ulama bentukan pemerintah. Hakikatnya, tidak semua personil yang ada di dalam wadah lembaga MUI berkompeten dalam pengetahuan agama. Namun, karena dipandang memiliki kelebihan lain, misalnya di bidang IT dan lain sebagainya, maka orang ini diangkat oleh pemerintah sebagai bagian dari MUI.
Ada ulama klaim diri sendiri, adalah seseorang yang memandang dirinya sendiri sebagai ulama. Jenis ulama ini hanya bermodalkan peci putih, sorban, dan beberapa ayat atau hadits. Kemudian, dengan sedikit acting, orang tersebut bergaya sebagai seorang ustadz atau ulama.
“Ada lagi yang sekarang, bikinan sendiri, produk sendirilah, dan ini murah sekali. Peci haji itu paling Rp 5000, sorban kira-kira Rp 50.000, kalau yang agak wibawa yang hijau. Kemudian menghafalkan kira-kira 3-4 ayat yang pendek-pendek saja yang biasa digunakan untuk umum. Hadits juga, diambil dari Arbain Nawawi juga ada itu, pendek-pendek. Terus sedikit kemampuan acting,”
Ulama model ini sangat berbahaya. Karena bisa saja memberikan fatwa yang bertentangan dengan agama. Misalnya, menghalalkan fitnah, mengadu domba, membikin kekacauan, dan mengacau keadaan. Jika ini yang terjadi, maka orang awam akan terprovokasi dan beranggapan bahwa berbuat anarkis itu sah-sah saja.
“Yang sangat berbahaya, jika dia melakukan sesuatu, mengucapkan sesuatu yang bertentangan dengan agama itu sendiri. Misalnya menghalalkan fitnah, menghalalkan ujaran kebencian, mengadu domba, mengacaukan rumah sendiri. Itu bahaya karena orang-orang awam, tahunya itu dia memang ustadz betul, kyai betul, ulama betul,”
Sesungguhnya, ulama adalah pewaris Nabi. Ulama jenis ini merupakan seseorang yang memiliki kepekaan dan kepedulian sosial i. Menjaga marwah etika dengan tidak berkata kasar, tidak membuat keributan, dan tidak melakukan kegiatan makar. Sebab, Nabi yang mewariskan nilai-nilai ketuhanan kepada para ulama membawa nilai-nilai keagungan dan kemuliaan. Selalu berkata lembut, memandang orang lain dengan penuh kasih, serta menjadikan musuh sebagai wahana dakwah.inilah kemudian yang di sebut dengan pengejawantahan ilmu ulama yang sesungguhnya.
Keimanan dan ilmu yang tinggi tidak akan ada nilainya jika tidak dibarengi dengan proses civilisasi, membangun sebuah peradaban. Kita harus mempunyai kemampuan menerjemahkan agama dalam civilisasi, artinya Sivilisasi sebagai peradaban, sebagai proses pembentukan dan perkembangan masyarakat yang mencapai tingkat kemajuan tinggi dalam berbagai bidang, seperti, agama, budaya, sosial, ekonomi, dan politik ,inilah magnum opus iman dan ilmu.
Billahitaufiq Wal Hidayah
Wallahu A’lam…!!!