Oleh Muhammad Ali Muhsin Rofiey Notonegoro, Ama.Spd.I.
Wakil Sekretaris MD KAHMI Kabupaten Pamekasan
Kebanyakan dari kita saat mendengar kisah Nabi Yusuf A.S hanya pada cerita Nabi yusuf yang dibuang ke sumur oleh saudara-saudara (tiri)-nya, Ketampanan Nabi Yusuf yang mempesona banyak wanita terutama Siti Zulaikha dan Nabi Yusuf yang ahli di dalam menafsirkan mimpi.Tapi ada kisah perjalanan Nabi Yusuf A.S yang menarik namun luput di dalam perhatian kita semua.
Terutama kisah bagaimana nabi Yusuf A.S dapat mengelola dan memanajemen Pangan di dalam Negara saat itu di zaman Kerajaan Mesir. Semuanya berawal dari mimpi unik seorang penguasa Mesir. Mimpi itu tersebar dan banyak masyarakat yang bingung dengan mimpi sang Penguasa. Namun salah seorang Pelayan sang Penguasa ingat bahwa dia mengenal Nabi Yusuf A.S yang mampu menafsirkan mimpi saat mereka masih bersama di dalam penjara.
Setelah pelayanan itu memberitahukan perihal kemampuan Nabi Yusuf A.S ke Sang Penguasa, maka penguasa tersebut langsung memerintahkan agar Nabi Yusuf A.S dikeluarkan dari penjara agar menemui dan menafsirkan mimpinya.Mesir di era tersebut merupakan masyarakat yang maju di dalam Pearadaban dan Ilmu pengetahuan.. Ilmu Kimia, biolagi, biokimia dan arsitektur sangat berkembang saat itu. Kemampuan ilmu pengetahuan tersebut dikembangkan untuk Teknik Pertanian dan Pengawetan makanan.
Dengan modal perberdayaan masyarakat dengan peradaban yang tinggi tersebut, Nabi Yusuf A.S tidak banyak menemui masalah di dalam teknik dan manajemen pengelolaan Pangan saat pasca panen. Teknik pengawetan makanan, system sirkulasi pangan, Bangunan penyimpanan pangan yang sesuai standar, serta yang terpenting adalah peraturan dan pegaturan mengenai gaya hidup dan kosumsi masyarakat juga diperhatikan.Dalam upayanya menghidupkan produktivitas lahan untuk pertanian mengingatkan pada Kisah Nabi Yusuf atau Joseph di masa silam. Hal ini terjadi berkat manajemen atau pengaturan air pada masa beliau.
Air diatur sedemikian rupa untuk menghidupkan lahan gurun menjadi sangat subur, seperti yang kemudian dikenal sebagai Kota Al-Fayyūm, yang menjadi sentra pertanian.
Al-Fayyūm merupakan daerah di hulu Mesir, yang terletak di depresi besar Gurun Barat di barat daya Kairo.
Air dari Sungai Nil disalurkan ke dalam Danau Qarun (jarak Sungai Nil dengan Danau Qorun sekitar 100 km) melalui Kanal Yusuf (Joseph Canal’s) mengikuti saluran kuno ke Fayyūm yang bercabang-cabang untuk menyediakan air irigasi.
Nabi Yusuf juga membangun kincir air untuk menaikkan air dari danau ke lahan Al-Fayyūm yang posisinya lebih tinggi di hulu Mesir.
Singkatnya, manajemen air melalui teknologi kincir air pada masa tersebut menjadi kunci guna menghidupkan lahan agar berproduksi sepanjang tahun.
Berkat air, selama tujuh tahun Yusuf memanen gandum dan menyimpannya untuk persediaan tujuh tahun paceklik berikutnya.
Dengan cara itu Yusuf membawa Bangsa Mesir selamat dari bencana kekeringan, kelaparan, dan kekacauan akibat krisis pangan.
Strategi Efisiensi
Apabila diamati dari literatur sejarah, maka secara garis besar terdapat strategi kunci dan efisiensi Nabi Yusuf dalam mengatasi kekeringan yang diprediksi bakal melanda.
Pertama, perencanaan selama tahun-tahun kelimpahan. Ketika Nabi Yusuf memahami mimpi tentang tujuh tahun kelimpahan diikuti oleh tujuh tahun kelaparan, beliau segera menyadari pentingnya merencanakan masa depan.
Ia menyarankan kepada Raja Mesir, kala itu, untuk menyimpan sebagian besar hasil pertanian selama tahun-tahun kelimpahan.
Nabi Yusuf mengoptimalkan tujuh tahun kelimpahan dengan memastikan ketersediaan air sepanjang tahun. Ia membangun kincir angin dan kanal-kanal untuk mengambil air dari sumbernya, lalu mengalirkannya ke lahan-lahan subur.
Kedua, penyimpanan makanan. Nabi Yusuf mengatur penyimpanan makanan secara besar-besaran selama tahun-tahun kelimpahan.
Ia membangun gudang-gudang besar alias lumbung pangan di seluruh Mesir untuk menyimpan gandum dan sumber daya pangan lainnya.
Ini memungkinkan Mesir untuk memiliki persediaan makanan yang cukup selama masa kelaparan.
Ketiga, distribusi selama masa kelaparan. Ketika masa kelaparan tiba, Nabi Yusuf bertanggung jawab mendistribusikan sumber daya pangan yang disimpan dengan adil kepada masyarakat Mesir.
Ia melakukan ini dengan bijaksana, memastikan bahwa makanan didistribusikan secara merata dan tidak ada yang kelaparan.
Keempat, kebijaksanaan dalam pengelolaan. Nabi Yusuf menggunakan kebijaksanaan dan keadilan dalam pengelolaan sumber daya.
Nabi Yusuf telah mengatur sistem pengaturan harga atau alokasi sumber daya berdasarkan kebutuhan dan kemampuan masyarakat.
Ini membantu mencegah penimbunan atau penyalahgunaan sumber daya oleh pihak tertentu.
_Kelima_ , pengawasan dan pengelolaan pertanian. Nabi Yusuf juga telah memimpin upaya untuk mengoptimalkan produksi pertanian selama tahun-tahun kelimpahan.
Ini bisa termasuk teknik irigasi yang lebih efisien atau strategi pertanian lainnya untuk meningkatkan hasil tanaman.
Selain itu, selama masa kelaparan, beliau mungkin telah memberikan nasihat kepada petani tentang cara mengelola sumber daya air yang terbatas.
Dengan mengelola pertanian dan persediaan pangan dengan bijaksana selama tahun-tahun kelimpahan dan kelaparan, Nabi Yusuf berhasil mengatasi kekeringan dengan mengurangi dampaknya pada masyarakat Mesir dan memastikan ketersediaan makanan yang cukup untuk semua orang. Kitab suci Al-Qur’an tidak hanya kitab petunjuk *spiritual* , melainkan juga kitab *ekologi* , yang memuat _strategi_ keberlanjutan hidup manusia dalam harmoni dengan alam. Salah satu babak penting dalam narasi ekologi transenden kitab suci Al-Qur’an adalah kisah Nabi Yusuf a.s., terutama dalam Surat Yusuf ayat 47, yang menggambarkan strategi mengatasi krisis pangan dan multikrisis lainnya secara _lestari_ dan _visioner_ .
Surat Yusuf Ayat 47
قَالَ تَزْرَعُونَ سَبْعَ سِنِينَ دَأَبًا فَمَا حَصَدتُّم فَذَرُوهُ فِي سُنبُلِهِ إِلَّا قَلِيلًا مِّمَّا تَأْكُلُونَ
“Yusuf berkata, ‘Kalian bertani selama tujuh tahun seperti biasa. Maka apa yang kalian panen, biarkanlah dalam bulir-bulirnya, kecuali sedikit untuk kalian makan.’”
Ayat ini merupakan argumentasi filosofis dan praktis bagi konsep ekologi transenden, yakni pendekatan ekologis yang mengakar pada ajaran kesadaran spiritual manusia sempurna, Nabi Yusuf as. Memproduksi yang Lestari, tidak untuk di eksploitasi
Yang disampaikan Nabi Yusuf adalah perintah untuk bertani selama tujuh tahun secara konsisten. Ini bukan sekadar strategi pertanian, tetapi sebuah nasihat ekologis. Bertani dalam konteks ekologi transenden berarti melestarikan siklus hayati: menjaga tanah, air, dan benih agar tetap produktif dan berkesinambungan.
Produk hayati adalah produk yang dapat diperbarui secara alamiah. Ia tumbuh melalui waktu, mengalami regenerasi, dan menjawab kebutuhan hidup tanpa menghabiskan sumber daya bumi secara fatal. Inilah prinsip dasar dari keberlanjutan. Dalam konteks modern, ini berarti produksi harus berbasis pada pendekatan hayati ( *bio-based* ), bukan ekstraktif. Nabi Yusuf tidak menyuruh menambang, menggunduli, atau mengeksploitasi; beliau menyuruh untuk membudidayakan. Dengan kata lain, Nabi Yusuf menyuruh kita untuk melakukan produksi tentang apa saja yang lestari atau berkelanjutan.
Paham dengan Siklus Hidupnya Spesies
Kemudian yang diajarkan Nabi Yusuf adalah agar hasil panen disimpan dalam bulirnya. Di balik perintah ini terdapat kecerdasan ekologis tingkat tinggi. Menyimpan gandum dalam bulirnya adalah bentuk penghormatan terhadap siklus hidup spesies tanaman. Ia tidak dirusak bentuknya, tidak dipecah struktur biologisnya, agar tetap hidup, stabil, dan dapat dikembangkan kembali ketika dibutuhkan.
Secara ekologis, ini adalah pesan bahwa manusia sebagai produsen harus memahami siklus hidup dari setiap organisme yang dimanfaatkan. Tanpa pemahaman ini, manusia akan menjadi perusak. Dengan pemahaman ini, manusia menjadi penjaga. Maka, ekologi transenden mengajarkan bahwa produksi harus dibarengi dengan perlindungan terhadap sifat hidup suatu spesies.
Mengkonsumsi Secukupnya, Menyimpan Lebih Banyak
Nabi Yusuf AS menyarankan kita agar yang dikonsumsi hanya sedikit, sisanya disimpan. Ini bukan hanya strategi menghadapi musim paceklik, melainkan etika pemanfaatan sumber daya. Dalam kerangka ekologi transenden, ini adalah perintah untuk tidak serakah. Kita hanya boleh mengambil dari alam seperlunya, sementara sisanya disimpan, dijaga, dan diperkaya agar berguna di masa depan.
Menkonsumsi secukupnya, tetapi berikan nilai tambah pada hasil hayati itu dengan teknologi. Inilah yang kini disebut sebagai enrichment meningkatkan kualitas gizi dan daya guna produk tanpa perlu memperbesar volume ekstraksi dari alam. Dalam konteks ini, sedikit dari alam, tetapi banyak untuk manusia, menjadi prinsip emas. Itulah sebabnya Nabi Yusuf tidak menganjurkan eksploitasi berlebih, tetapi pengolahan cerdas atas apa yang sudah ada.
Melampaui proyeksi ekonomi, Menuju Etika keseimbangan
Yang diajarkan Nabi Yusuf bukan sekadar ekonomi pangan biasa, tetapi etika ekologis yang melampaui dimensi fisik transenden. Karena bencana ekologis terbesar di dunia hari ini bukanlah kekurangan sumber daya, melainkan keserakahan dalam mengonsumsinya. Setiap banjir, krisis iklim, degradasi hutan, dan krisis air, berpangkal pada kegagalan manusia membatasi diri dan menghormati keseimbangan ekosistem.
Ekologi transenden tidak bisa hanya mengandalkan data dan kebijakan. Ia membutuhkan kesadaran transenden bahwa semua makhluk hidup tumbuhan, hewan, manusia adalah ciptaan Allah yang harus dihargai bukan hanya karena manfaatnya, tapi juga karena keberadaannya. Dan Nabi Yusuf adalah teladan bagaimana strategi pangan berbasis spiritualitas ini mampu menyelamatkan sebuah bangsa dan negara dari kehancuran.
Tanggung Jawab Moral dan Hikmah ekologi transenden
Apa yang diajarkan Nabi Yusuf lebih dari cukup menjadi landasan bagi dunia modern yang sedang menghadapi krisis multidimensi—pangan, iklim, energi, dan moralitas. Jika dunia ingin selamat, maka arahkan kembali strategi pembangunan ke basis ekologi transenden: produksi hayati yang lestari, pemahaman atas siklus hidup, pengolahan yang cerdas, konsumsi yang bijak, dan penghindaran mutlak dari kerakusan. Tidak ada ajaran agama untuk mengandalkan pembangunan ekonomi pada hutang dan tidak ada ajaran untuk mengatasi kelangkaan dengan impor, tetapi dengan manajemen stok.
Keteladanan dari Nabi Yusuf lainnya sebagai ciri pemimpin yang baik di antaranya tata kelola yang baik (good governance), berilmu, bersimpati dan berintegritas.
Billahitaufiq Wal Hidayah
Wallahu a’lam Bissowab