Sejarah Al Dan Agama Islam

Kata algoritma berasal dari kata nama Abu Ja’far Mohammed Ibnu Musa al-Khowarizmi, ilmuwan Persia yang menulis buku “Al Jabr W’Al-Muqabala” (Rules of Restoration and Reduction), terbit 825 M.

Kemajuan teknologi ini tidak terlepas dari perkembangan berbagai disiplin ilmu pengetahuan di masa sebelumnya yang menjadi dasar perkembangan teknologi kedepannya. Salah satu ilmuwan yang memiliki peran penting dalam perkembangan teknologi terutama di bidang komputer adalah Al Khawarizmi.

Muhammad Ibnu Musa Al Khawarizmi dikenal sebagai matematikawan yang menemukan Aljabar dan juga merupakan bapak dari algoritma. Bagi sebagian orang yang berprofesi sebagai programmer atau developer tentunya algoritma ini sering kita pergunakan saat melakukan pengembangan program. Stephen Hawking, seorang ilmuwan brilian asal Inggris, suatu kali pernah menyatakan bahwa artificial intelligence (AI) menyimpan bahaya yang luar biasa bagi masa depan umat manusia. Lebih tepatnya, Hawking menyatakan seperti ini, “The development of full artificial intelligence could spell the end of the human race (Perkembangan artificial intelligence yang menyeluruh dapat mengakhiri ras manusia).persaingan global.

Lebih dari sekadar persoalan akses, tantangan utama terletak pada cara berpikir umat terhadap teknologi ini. Banyak di antara kita yang belum memandang AI sebagai alat strategis untuk membangun masa depan umat, melainkan sekadar sebagai pelengkap gaya hidup. Padahal, di negara-negara lain, AI telah digunakan untuk mengembangkan aplikasi tafsir digital, platform belajar daring berbasis kitab kuning, hingga sistem prediktif untuk penentuan awal Ramadan atau waktu salat berbasis astronomi mutakhir. Jika potensi ini tidak segera digarap secara serius, kita berisiko kembali menjadi konsumen pasif dalam lanskap peradaban digital global.

Pertemuan AI dan agama juga memunculkan dinamika baru dalam hal otoritas keagamaan. Dahulu, jawaban keagamaan hanya bisa diberikan oleh mereka yang mendalami ilmu fikih dan usul. Kini, cukup dengan membuka aplikasi, siapa pun bisa mendapat jawaban dari AI dalam waktu singkat. Walaupun secara keilmuan belum tentu dapat menggantikan ijtihad ulama, tren ini terus menguat, terutama di kalangan generasi muda.

Dalam bukunya Religion and Artificial Intelligence (Routledge, 2025), Singler mengungkap bahwa agama dan AI kini berada di jalur yang sama—persimpangan yang akan menentukan wajah keagamaan dunia ke depan. Dengan 84% penduduk bumi masih memeluk agama-agama besar, potensi perubahan sosial dan spiritual akibat AI bukan sekadar spekulasi. Dalam konteks sosiologi agama, AI berpotensi menggugat posisi agama sebagai otoritas tertinggi dalam hal moral dan tindakan.

AI juga membawa penguatan rasionalitas, bahkan narasi baru yang lebih logis dan sistematis. Bila tidak dikelola, kekuatan naratif ini dapat menyaingi bahkan menggantikan otoritas agama tradisional. Dalam jangka panjang, ini bisa melahirkan gelombang ateisme digital yang tumbuh bukan dari penolakan terhadap Tuhan, melainkan karena ketergantungan pada mesin yang dianggap lebih netral dan faktual.Ada hukum mengembangkan teknologi AI dan menggunakannya sebagai sumber rujukan dalam beberapa persoalan khususnya masalah agama? Sebelum membahasnya, Islam sangat mendukung perkembangan teknologi itu sendiri dikarenakan umat muslim harus memiliki sifat-sifat ilmuwan, yakni kritis sebagaimana dalam firman Allah Swt:  

 وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌۗ اِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا    

“Janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak kauketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra/ 17:36).   Ataupun senantiasa menggunakan akal pikiran untuk berpikir secara kritis seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 44: 

  اَتَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ اَنْفُسَكُمْ وَاَنْتُمْ تَتْلُوْنَ الْكِتٰبَ ۗ اَفَلَا تَعْقِلُوْنَ   

“Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedangkan kamu melupakan diri kewajibanmu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?” (Al-Baqarah: 44).   

Inilah kemudian yang mengantarkan pada sebuah keharusan bagi setiap umat muslim agar mampu unggul dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) sebagai sarana kehidupan yang harus diutamakan untuk mencapai kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat.  

Ada keputusan Munas Alim Ulama NU 2023, Komisi Waqi’iyah yang memutuskan bahwa menanyakan persoalan keagamaan kepada AI dan menjadikannya pedoman tidak diperbolehkan, alasannya ada 3, yaitu:    1. Tidak dapat dipastikan kebenaran output-nya karena faktor randomness (sifat tidak berstruktur atau tidak teratur, atau tidak dapat diprediksi) dan hallucination (pengalaman sensori palsu yang terjadi tanpa rangsangan eksternal). 

2. AI NLP (Natural Language Processing) tidak memiliki kreativitas dan empati untuk mengetahui kondisi riil penanya. 

3. Al Bias dari data yang dimasukkan (atau dilatihkan ke AI). Dikarenakan permasalahan agama itu wajib merujuk kepada pakar atau sumber referensi agama yang otoritatif dan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya (mautsuq bih). 

Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarhul Muhazdzab    

 وَلَا يَأْخُذُ الْعِلْمَ إلَّا مِمَّنْ كَمُلَتْ أَهْلِيَّتُهُ وَظَهَرَتْ دِيَانَتُهُ وَتَحَقَّقَتْ مَعْرِفَتُهُ وَاشْتَهَرَتْ صِيَانَتُهُ وَسِيَادَتُهُ: فَقَدْ قَالَ ابْنُ سِيرِينَ وَمَالِكٌ وَخَلَائِقُ مِنْ السَّلَفِ هَذَا الْعِلْمُ دِينٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ    

“Janganlah orang mengambil ilmu kecuali dari orang yang sempurna keahliannya, terlihat jelas keteguhan agamanya, luas pengetahuannya dan masyhur kredibilitasnya. 

Ibnu Sirin, Imam Malik, dan ulama salaf berkata: “Ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.’’ (An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Muhadzdzab, [Beirut: Darul Fikr, T.th], jilid I, hlm. 36).   

Selain itu, dalil yang dijadikan sebagai acuan dalam menetapkan hukum ini adalah Al-Qur’an Surat al-Anbiya ayat 7 yang berbunyi:    ‎

فَسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ    

“Maka tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui.” (QS Al-Anbiya’: 7).  

Dalam Durrul Mantsur, Imam As-Suyuthi menafsirkan ayat tersebut dan mengaitkannya dengan sabda Nabi SAW di bawah ini:    ‎

لَا يَنْبَغِي لِلْعَالِمِ أَن يَسْكُتَ عَنْ عِلْمِهِ وَلَا يَنْبَغِي لِلْجَاهِلِ أَنْ يَسْكُتَ عَنْ جَهْلِهِ   

“Tidak sepatutnya seorang yang berilmu menyembunyikan ilmunya, dan seorang yang bodoh menyembunyikan kebodohannya.”    

Berdasarkan firman Allah SWT dan sabda Nabi SAW di atas, ia kemudian menjelaskan:    ‎

وَقد قَالَ الله: فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُم لَا تَعْلَمُونَ، فَيَنْبَغِي لِلْمُؤمنِ أَن يَعْرِفَ عَمَلَهُ عَلَى هُدًى أَمْ عَلَى خِلَافِهِ    

“Dan sungguh Allah Swt. telah berfirman “Maka tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui.” Maka sepatutnya bagi seorang mukmin untuk mengetahui setiap tindakan yang dilakukannya apakah telah sesuai dengan petunjuk (syariat) atau justru sebaliknya.”

Meskipun begitu, keputusan Munas Alim Ulama NU memperbolehkan masyarakat untuk ikut serta dalam menyempurnakan perkembangan kecerdasan buatan, bahkan, hukumnya adalah fardhu kifayah (kewajiban kolektif). Dengan catatan, tujuannya adalah menyajikan konten rujukan keislaman yang otoritatif kepada masyarakat melalui media digital.   

Oleh karena itu, penggunaan dalil-dalil tersebut dalam konteks ini dapat dipahami sebagai tuntutan kepada orang yang berilmu agar berani tampil dengan hujjah dan akhlak yang baik, sementara orang yang tidak berilmu dituntut untuk tampil dengan menghilangkan kebodohannya, yakni dengan cara mencari ilmu dan bertanya perihal isu keagamaan kepada orang yang berilmu (ulama/Ahlul ilmi). 

AI dalam Islam pada dasarnya tidak bertentangan dengan ajaran agama, asalkan digunakan dengan bijak dan dalam batasan moral yang jelas. Sebagai alat, AI dapat menjadi sarana untuk kemajuan umat manusia jika dimanfaatkan untuk kebaikan, keadilan, dan kemaslahatan. Namun, penggunaannya harus didasarkan pada prinsip-prinsip Islam yang melindungi hak-hak individu, menghargai moralitas, dan tidak merusak tatanan sosial.

Sebagai umat Islam, kita perlu terus mengawasi bagaimana teknologi ini berkembang dan memastikan bahwa AI digunakan dengan cara yang mendukung kehidupan yang lebih baik sesuai dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Teknologi AI adalah amanah yang harus dimanfaatkan dengan bijak untuk meningkatkan kualitas keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT. Mari jadikan kemajuan teknologi sebagai jembatan menuju kehidupan yang lebih baik secara duniawi dan ukhrawi.

Oleh Muhammad Ali Muhsin Rofiey Notonegoro, Ama.Spd.I. 

Wakil Sekretaris MD KAHMI Kabupaten Pamekasan

Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam Bissowab. Billahitaufiq Wal Hidayah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *