Sangat Tepat Sekali Keputusan Bupati Pamekasan mereformasi Birokrasi, Agar Pamekasan Lebih Baik ke Depan dan Satu Komando

Salah satu fondasi utama dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang efektif adalah kepatuhan dan loyalitas organisasi perangkat daerah (OPD) terhadap arahan dan kebijakan kepala daerah. Dalam sistem pemerintahan, Bupati berperan sebagai pemimpin tertinggi di tingkat kabupaten yang memiliki kewenangan strategis dalam mengarahkan pembangunan dan menjalankan visi-misi daerah. Namun, ketika OPD tidak patuh terhadap instruksi Bupati, maka mesin birokrasi akan kehilangan sinkronisasi, arah pembangunan menjadi kabur, dan pelayanan publik berpotensi menurun drastis. Inilah problem serius yang harus segera dibenahi jika Kabupaten Pamekasan ingin benar-benar maju.

Fenomena ketidakpatuhan OPD terhadap instruksi Bupati bukanlah hal baru dalam dinamika pemerintahan daerah. Beberapa pejabat di lingkup OPD kerap kali menjalankan program berdasarkan kepentingan pribadi, kelompok, atau bahkan tekanan politik tertentu, bukan berdasarkan kebijakan strategis yang telah digariskan oleh kepala daerah. Ketika ego sektoral lebih menonjol dibanding semangat kolektif, maka yang terjadi adalah tumpang tindih program, pemborosan anggaran, dan kinerja daerah yang tidak maksimal.

Bupati sebagai pemimpin daerah tentu memiliki visi besar untuk memajukan Pamekasan, baik melalui reformasi birokrasi, peningkatan pelayanan publik, maupun pembangunan ekonomi berbasis potensi lokal. Tetapi visi tersebut akan menjadi omong kosong jika para kepala OPD tidak berjalan seirama. Instruksi Bupati seharusnya menjadi pedoman kerja yang wajib dijalankan oleh setiap unit pemerintahan, bukan sekadar formalitas rapat atau dokumen yang diabaikan.

Masalah ketidakpatuhan OPD juga menunjukkan lemahnya disiplin dan koordinasi dalam tubuh birokrasi daerah. Banyak pejabat yang lebih sibuk membangun citra pribadi atau mencari keuntungan sesaat daripada berfokus pada kepentingan publik. Ada pula yang berlindung di balik alasan prosedural untuk menunda pelaksanaan program yang telah diperintahkan. Pola seperti ini sangat berbahaya, karena akan menciptakan budaya kerja yang apatis, tidak responsif, dan jauh dari semangat profesionalisme.

Bupati Pamekasan harus bertindak tegas terhadap OPD yang tidak mematuhi arahan. Tegas bukan berarti otoriter, tetapi memberikan sinyal bahwa kepemimpinan di daerah ini memiliki arah yang jelas dan tidak bisa ditawar. Setiap kepala OPD harus dievaluasi secara berkala berdasarkan kinerja nyata, bukan hanya laporan administratif. Bupati juga perlu menegakkan sistem reward and punishment, mereka yang patuh, loyal, dan berkinerja baik harus diapresiasi; sementara yang melawan instruksi atau bekerja asal-asalan perlu diberikan sanksi, bahkan diganti jika perlu.

Selain ketegasan, transparansi komunikasi juga penting. Bupati harus memastikan bahwa setiap OPD memahami arah kebijakan dengan jelas dan memiliki ruang dialog untuk menyampaikan kendala di lapangan. Kadang, ketidakpatuhan bukan semata-mata karena niat buruk, tetapi akibat miskomunikasi atau kurangnya pemahaman terhadap prioritas kebijakan. Maka, kepemimpinan yang kuat harus diimbangi dengan komunikasi yang terbuka, koordinasi yang solid, dan monitoring yang berkelanjutan.

Pamekasan tidak akan maju jika perangkat pemerintahannya berjalan sendiri-sendiri. Dalam konteks tata kelola modern, sinergi antar-OPD adalah kunci utama. Setiap kebijakan pembangunan, mulai dari peningkatan ekonomi, pengentasan kemiskinan, hingga reformasi birokrasi, memerlukan kolaborasi lintas sektor. Ketika OPD tidak patuh terhadap instruksi Bupati, maka bukan hanya arah pembangunan yang terganggu, tetapi juga kepercayaan publik terhadap pemerintah akan menurun drastis.

Masyarakat kini semakin cerdas dalam menilai kinerja pemerintah. Mereka tidak lagi melihat dari janji-janji politik, tetapi dari hasil nyata di lapangan. Bila OPD tidak bergerak sesuai visi Bupati, yang dirugikan bukan hanya kepala daerah, tetapi seluruh rakyat Pamekasan. Oleh karena itu, setiap pejabat publik harus menyadari bahwa jabatan yang diemban adalah amanah, bukan alat kekuasaan atau kepentingan pribadi.

Sudah saatnya Bupati menegakkan kembali disiplin birokrasi. Jangan biarkan OPD bertindak semaunya sendiri tanpa koordinasi dan tanpa arah. Pemerintah daerah harus menjadi satu kesatuan yang solid, bergerak dalam satu komando, dan berorientasi pada pelayanan rakyat. Kepatuhan terhadap instruksi Bupati bukan hanya bentuk loyalitas struktural, melainkan wujud komitmen terhadap cita-cita bersama: mewujudkan Pamekasan yang maju, berdaya saing, dan sejahtera.

Jika OPD masih enggan berubah dan tetap tidak patuh, maka reformasi birokrasi hanya akan menjadi retorika. Karena sejatinya, keberhasilan sebuah pemerintahan bukan ditentukan oleh banyaknya program yang dicanangkan, melainkan oleh sejauh mana seluruh aparat di bawahnya mau bekerja bersama, taat pada pimpinan, dan tulus melayani rakyat. Pamekasan butuh birokrasi yang loyal dan profesional, bukan birokrasi yang berjalan sendiri tanpa arah dan tujuan.

Reformasi birokrasi sejatinya bukan hanya jargon administratif, tetapi langkah fundamental untuk membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, dan berpihak pada rakyat. Kabupaten Pamekasan, dengan segala potensi dan tantangannya, membutuhkan reformasi birokrasi yang nyata bukan sebatas wacana di ruang rapat atau simbol di spanduk seremonial.

Selama ini, birokrasi di daerah kerap terjebak dalam pola kerja sektoral, tumpang tindih kewenangan, dan minim koordinasi antar instansi. Akibatnya, program pembangunan berjalan lamban, kebijakan sering tidak sinkron, dan pelayanan publik masih jauh dari kata maksimal. Di sinilah pentingnya “satu komando” dalam sistem pemerintahan daerah: bukan dalam arti otoritarian, tetapi penyatuan visi, arah, dan langkah kerja semua unsur birokrasi di bawah kepemimpinan yang tegas dan berintegritas.

Reformasi birokrasi di Pamekasan harus dimulai dari perubahan mental aparatur. ASN tidak boleh lagi bekerja sekadar menggugurkan kewajiban, tetapi harus memiliki orientasi pelayanan. Transparansi, akuntabilitas, dan profesionalitas harus menjadi nilai utama dalam setiap lini pemerintahan. Reformasi juga berarti menutup ruang bagi praktik nepotisme, kolusi, dan kepentingan politik sempit yang sering menghambat efektivitas organisasi.

Untuk menuju Pamekasan yang maju, komando kepemimpinan harus jelas. Setiap kepala dinas dan pejabat struktural harus memiliki loyalitas tunggal kepada visi kepala daerah, bukan kepada kelompok atau individu tertentu. Seluruh program harus sinergis dengan RPJMD, bukan berjalan sendiri-sendiri. Bupati sebagai pemegang mandat rakyat harus menjadi nakhoda yang menegakkan disiplin birokrasi, memberi keteladanan, dan memastikan semua kebijakan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.

Selain itu, digitalisasi birokrasi perlu menjadi prioritas. Pemerintah daerah harus berani meninggalkan pola kerja manual yang lambat dan rawan penyimpangan. Sistem informasi yang transparan dan terbuka akan mempercepat pelayanan publik, memperkecil peluang korupsi, serta memperkuat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.

Pamekasan memiliki sumber daya manusia yang mumpuni, tinggal bagaimana sistem birokrasi diarahkan untuk bekerja efektif dalam satu garis komando yang solid. Reformasi birokrasi bukan sekadar mengganti struktur, tetapi membangun kultur kerja baru yang jujur, melayani, dan berorientasi hasil.

Jika ini dijalankan secara konsisten, maka Pamekasan akan bergerak menjadi kabupaten yang maju, bersih, dan berdaya saing. Reformasi birokrasi adalah kunci, dan satu komando adalah jalannya.

Kepemimpinan yang kuat, berwibawa, dan berorientasi pada kepentingan rakyat adalah harapan setiap masyarakat terhadap seorang pemimpin daerah. Di Kabupaten Pamekasan, sosok Dr. KH. Kholilurrahman sering menjadi simbol harapan tersebut, seorang figur religius, santun, namun tegas dalam prinsip. Dalam konteks tata kelola pemerintahan yang ideal, beliau menekankan pentingnya “satu komando” dalam menjalankan arah pembangunan dan kebijakan daerah. Sebuah prinsip yang menolak keras adanya kepentingan politik dan pribadi yang justru bisa menghambat kemajuan Pamekasan.

“Satu komando” bukan sekadar jargon atau kalimat retoris. Ia adalah filosofi kepemimpinan yang menegaskan pentingnya keselarasan antara pimpinan dan jajaran bawahannya. Dalam sistem pemerintahan, satu komando bermakna bahwa setiap perangkat daerah harus bergerak searah dengan visi dan misi bupati. Tanpa adanya “suara ganda”, tanpa tarik-menarik kepentingan, dan tanpa ada kelompok yang bermain di belakang layar untuk mengamankan posisi atau keuntungan pribadi.

Sayangnya, dalam realitas birokrasi Pamekasan, kepentingan politik dan pribadi sering kali menjadi “hantu” yang mengganggu jalannya pemerintahan. Banyak pejabat yang lebih fokus menjaga relasi politik dibanding melaksanakan instruksi kepala daerah. Akibatnya, program pembangunan berjalan lamban, keputusan strategis tersandera oleh kompromi, dan rakyat menjadi pihak yang paling dirugikan.

Harapan dalam kepemimpinan Kiai Kholil juga berarti adanya soliditas dan loyalitas. Loyal bukan kepada individu, melainkan kepada arah perjuangan dan tanggung jawab moral untuk memajukan daerah. Pejabat harus tunduk pada komando pimpinan, bukan pada titipan pihak luar. ASN, kepala dinas, camat, hingga aparat desa, semestinya memahami bahwa jabatan yang mereka emban adalah bagian dari amanah rakyat yang harus dijalankan secara terkoordinasi di bawah satu garis kepemimpinan.

Pamekasan membutuhkan kepemimpinan yang bersih dari intervensi politik dan kepentingan pribadi. Karena selama kepentingan itu masih menjadi ukuran utama dalam penempatan jabatan, dalam pembagian proyek, atau dalam pengambilan kebijakan, maka reformasi birokrasi yang diimpikan hanya akan menjadi wacana kosong. Dr. KH. Kholilurrahman berulang kali menegaskan, keberhasilan sebuah pemerintahan bukan diukur dari seberapa banyak proyek yang dikerjakan, tetapi seberapa besar manfaatnya bagi masyarakat luas.

Satu komando berarti satu arah, satu tujuan, satu semangat pengabdian. Ketika semua perangkat daerah bergerak dalam satu garis kepemimpinan yang jelas, maka hasilnya akan terasa nyata: pelayanan publik membaik, kebijakan menjadi efisien, dan pembangunan berjalan lebih cepat. Tidak ada lagi ego sektoral, tidak ada lagi kelompok yang menunggangi jabatan untuk kepentingan pribadi, dan tidak ada lagi dualisme arah kebijakan yang membuat masyarakat bingung.

Pamekasan sejatinya memiliki potensi besar dari sumber daya manusia religius, budaya gotong royong yang kuat, hingga sumber daya alam yang menjanjikan. Namun semua itu hanya akan bisa dimanfaatkan maksimal jika pemerintahan berjalan satu komando, bukan satu meja banyak suara. Kepemimpinan Dr. KH. Kholilurrahman menjadi simbol penting bahwa kepemimpinan daerah harus kembali pada nilai-nilai moral dan kejujuran, bukan pada negosiasi politik yang penuh intrik.

Sudah saatnya seluruh pejabat dan ASN di Pamekasan kembali ke semangat awal pengabdian: melayani rakyat, bukan melayani kepentingan. Mengikuti komando pemimpin bukan berarti kehilangan pendapat, tetapi memastikan bahwa setiap langkah yang diambil adalah bagian dari strategi besar untuk kesejahteraan bersama.

Jika semua pihak menyatukan niat dan langkah dalam satu komando kepemimpinan, maka Pamekasan akan kembali bangkit menjadi daerah yang maju, religius, dan bermartabat. Sebaliknya, jika masih ada kepentingan pribadi yang mendominasi, maka kemajuan hanya akan menjadi mimpi panjang tanpa akhir.

Divisi Pemantau Kebijakan Publik Komunitas Jurnalis Jawa Timur (KJJT) Wilayah Pamekassn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *