Bupati Pamekasan Sibuk Berkuasa, Rakyatnya Mati di Atas Kertas

Halimah adalah seorang nenek tua renta, sebatang kara, yang tinggal di Desa Larangan Luar, Kecamatan Larangan, Kabupaten Pamekasan. Usianya sudah lebih dari enam puluh tahun. Hidupnya penuh kesunyian, tanpa keluarga yang mendampingi, dan kini ditimpa kesengsaraan akibat kelalaian aparatur negara yang seharusnya melindungi rakyat kecil.

Halimah memiliki identitas resmi berupa Kartu Keluarga dengan nomor 35280-8260-4060982 serta Nomor Induk Kependudukan 35280-84076-40067. Namun, tanpa sepengetahuan dan persetujuan dirinya, data kependudukan tersebut berubah nama menjadi Hanamah. Bahkan, yang lebih memilukan, dari perubahan tersebut terbitlah akta kematian atas nama Hanamah—padahal Halimah masih hidup.

Menurut prosedur hukum, setiap permohonan perubahan data kependudukan harus diajukan langsung oleh yang bersangkutan ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispenduk Capil), dengan melampirkan berbagai berkas resmi, termasuk keterangan dari desa atau dokumen lain yang sah. Begitu pula, akta kematian hanya dapat diterbitkan berdasarkan permohonan pihak keluarga dengan bukti dari rumah sakit atau surat keterangan kepala desa. Namun faktanya, Halimah tidak pernah datang, tidak pernah mengajukan, dan tidak pernah mengetahui adanya perubahan maupun penerbitan akta kematian tersebut.

Kenyataan ini menunjukkan adanya dugaan kuat keterlibatan oknum-oknum tidak bertanggung jawab di tubuh Dispenduk Capil Pamekasan. Akibatnya, Halimah dinyatakan meninggal pada tanggal 12 Juni 2024, sementara datanya berubah sejak 8 Mei 2024. Sejak saat itu, Halimah kehilangan seluruh haknya sebagai warga negara: ia tidak bisa menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu 2024, tidak bisa menerima bantuan sosial, dan seakan-akan “hilang dari bumi” karena dianggap telah tiada.

Kesengsaraan ini semakin terasa karena ketika persoalan disampaikan kepada Bupati Pamekasan melalui komunikasi langsung melalui pesan WhatsApp maupun bersurat resmi tidak mendapatkan respon. Surat permohonan perhatian juga telah dilayangkan kepada Ketua DPRD Kabupaten Pamekasan baik secara langsung melalui pesan What shap dan melalui surat resmi yang di layangkan ke kantor ketua DPRD Pamekasan yang notabene adalah wakil rakyat dari dapil tempat Halimah tinggal. Namun, lagi-lagi tak ada kepedulian, seakan-akan mereka buta dan tuli terhadap penderitaan rakyat kecil yang terdzalimi.

Bupati lebih sibuk dengan urusan pribadinya, sementara Ketua DPRD pun tidak menunjukkan empati sedikit pun. Hal ini mencerminkan wajah buruk pemerintahan daerah yang abai terhadap rakyat, terutama kepada seorang nenek tua renta yang hidup sebatang kara.

Sementara itu, Dispenduk Capil berusaha meredam masalah dengan upaya mendatangi Halimah untuk melakukan biometrik. Namun, langkah itu tidak cukup. Halimah berhak tahu siapa yang mengajukan perubahan data dirinya menjadi Hanamah, siapa yang memohonkan akta kematian, dan bagaimana proses itu bisa berjalan tanpa keterlibatan dirinya. Semua data tersebut pasti terekam dalam arsip resmi Dispenduk Capil, dan sudah seharusnya dibuka secara transparan demi kepentingan hukum Halimah.

Oleh karena itu, sangat penting bagi semua pihak, khususnya pemerintah Kabupaten Pamekasan, untuk memberikan atensi serius terhadap kasus Halimah. Dispenduk Capil harus segera melakukan transparansi dan evaluasi internal, karena terbukti prosedur telah dilanggar dan membuka ruang bagi praktik-praktik penyalahgunaan kewenangan.

Kisah Halimah adalah potret nyata bagaimana kelalaian aparat negara menghancurkan kehidupan rakyat kecil. Seorang nenek tua, sebatang kara, dirampas hak-haknya dan diperlakukan seolah-olah ia sudah mati, padahal ia masih hidup. Dan lebih menyedihkan lagi, ketika ia meminta pertolongan, suara jeritannya tidak digubris oleh para pemimpin yang seharusnya melindunginya.

Oleh : Yolies Yongki Nata, S.H.I, MH, M.Pd.I, CM, C, NSP

Kuasa Hukum KJJT Wilayah Pamekasan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *