Oleh : Cak Ma’el
Ketua Komunitas Jurnalis Jawa Timur (KJJT) Wilayah Pamekasan
DUNIA Pers di Kabupaten Pamekasan kembali tercoreng, gara-gara menjadi budak penguasa dan penentang penguasa dengan dasar menjaga independensi kejurnalistikan. Seorang jurnalis menyajikan berita dan informasi yang relevan kepada masyarakat, memungkinkan warga negara untuk memahami isu-isu terkini dan membuat keputusan yang tepat.
Kebebasan bersuara dan mengekspresikan pendapat merupakan hak setiap orang. Namun faktanya, tak jarang berbagai gagasan hingga perspektif berbagai pihak yang berdengung justru terbungkam oleh sekelompok orang dengan tujuan tertentu. Pers dan jurnalis menjadi salah satu korban nan kebebasannya sering ditekan.
Sepahit apapun itu keputusan seorang jurnalis ketika dalam menyajikan informasi hasil peliputan yang sesuai dengan fakta dan nyata dengan keadaan di lapangan maka harus di sampaikan. Sebab itu menunjukan ketajaman sebuah pena dalam melawan ke dholiman dan kewenang-wenangan sang penguasa.
Jurnalis memiliki peran penting sebagai “pilar keempat demokrasi” selain lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pers, sebagai wadah jurnalis, berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
Dalam konteks demokrasi, jurnalisme yang profesional dan independen berperan dalam menjaga integritas, mengawasi kekuasaan, serta memberikan informasi yang akurat dan berimbang kepada masyarakat.
Ada salah satu oknum jurnalis saling serang dalam sebuah acara besar di kabupaten pamekasan, yang satu menjadi budak penguasa dan menentang ke dholiman sang penguasa.
Padahal seorang jurnalis jangan pernah terjebak dalam propagandan yang di mamfaatkan oleh seseorang yang tidak bertangungjawab demi kepentingan secara individu, seorang jurnalis jangan pernah diadu domba dalam sebuah permainan kepentingan. Sehinga menghilang solidaritas kebersama dalam memperjuangkan kebebasan pers.
Kalau berita tidak sesuai dengan apa yang terjadi dilapangan maka mereka mempunya hak jawab, hak koreksi dan hak menolak, Sedangkan Hak Jawab atau Right of Reply adalah hak yang diberikan kepada narasumber untuk memberikan tanggapan atau pendapat mereka terhadap suatu pemberitaan yang melibatkan mereka. Ini memberikan kesempatan bagi narasumber untuk memberikan sudut pandang mereka, mengklarifikasi informasi yang salah atau tidak akurat, atau menanggapi tuduhan atau kritik yang ditujukan kepada mereka.
Ungkapan “kebebasan pers terbelenggu menjadi budak penguasa” menggambarkan situasi di mana pers tidak memiliki kebebasan untuk menjalankan fungsinya secara independen dan kritis, tetapi justru menjadi alat atau corong bagi penguasa. Hal ini sering dikaitkan dengan represi atau pembatasan terhadap media, sehingga pers kehilangan kemampuannya untuk menyampaikan informasi secara obyektif dan menjalankan kontrol sosial.
Menunjukkan adanya hambatan atau pembatasan yang signifikan terhadap kebebasan pers. Ini bisa berupa regulasi yang ketat, sensor, intimidasi, atau bahkan kekerasan terhadap jurnalis.
Ketika sang budak pengusa melakukan negosiasi dengan menghapus berita, maka seakan semua berita yang kritis bisa dibeli dengan uang. Padahal dalam kejurnalistikan menghapus berita ada undang-undang pers bahkan bisa terjerak hukum pidana.
Sudah jelas bahwa seorang yang tidak dengan puas apa yang beritakan oleh salah satu media maka narasumber yang bersangkutan mempunyai hak jawab, tapi narasumber membiarkan liar dan membias hingga menjatuhkan insan pers satu sama lainnya.
Sederhananya, ketika seseorang dieksploitasi demi keuntungan pribadi atau komersial oleh orang lain dan mereka terjebak dalam sistem kerja modern. Mereka mungkin tertipu, dipaksa, atau hidup dalam ancaman yang merampas hak-hak kebebasan dasar mereka.
Ungkapan “ketajaman pena terbelenggu pada penguasa” menyiratkan bahwa kebebasan berekspresi melalui tulisan, yang seharusnya tajam dan kritis, justru dibatasi atau dikendalikan oleh penguasa. Dengan kata lain, meskipun pena (simbol tulisan dan kebebasan berbicara) memiliki potensi untuk mengungkapkan kebenaran dan mengkritik, namun dalam konteks ini, kekuasaan (penguasa) membatasi potensi tersebut.
Ungkapan ini menyoroti ketegangan antara kebebasan berekspresi dan kekuasaan. Meskipun ada pepatah “pena lebih tajam daripada pedang” yang menekankan kekuatan tulisan, kenyataannya, penguasa seringkali memiliki kemampuan untuk mengontrol dan membatasi penyebaran informasi serta kritik melalui berbagai cara.
Penguasa dapat melakukan sensor terhadap media massa, membatasi akses informasi, atau bahkan menangkap dan memenjarakan penulis yang dianggap mengancam kekuasaan mereka.
Sebuah tulisan berita tentang kronologi peristiwa itu pun tayang di sebuah media online, setelah tiga kali dua puluh empat jam menuangkan segala apa yang dialaminya selama ini, diiringi emosi yang mengaduk aduk perasaan.
Dan benar. Setelah berita itu tayang, dan dalam durasi waktu kurang dari satu jam, sudah terbaca oleh hampir lima ratus orang itu, beruntun bermunculan berbagai komentar, dan sebagiannya berupa dukungan.
Aku pun share beritanya ke beberapa grup di media sosial. Banjir bullyan pun harus aku terima dari pihak yang kontra, tentu saja, tapi aku genggam saja sebagai latihan ku mengelola emosi.
Jadi dapat disimpulkan bahwa menulis itu adalah komunikasi melalui tulisan, merupakan alat ukur sejauh mana kita menguasai sebuah persoalan. Sebagai bagian dari literasi, kita bebas menulis apa saja asalkan dengan data serta tidak SARA