Kritik Publik: Kepemimpinan KH. Kholilurrahman Menuai Banyak Kontroversi

Oplus_131072

Penulis : Divisi Pemantau Kebijakan Publik Komunitas Jurnalis Jawa Timur (KJJT) Wilayah Pamekasan

Dalam Negara demokrasi, mengkritik pemerintah bukanlah pelanggaran, melainkan hak konstitusional warga negara. Bahkan, kritik seharusnya menjadi vitamin bagi pemerintahan agar tetap sehat. Namun, yang membedakan pemerintahan dewasa dan pemerintahan defensif adalah cara merespons kritik tersebut.

Kepemimpinan seorang tokoh publik, khususnya kepala daerah, tidak pernah lepas dari sorotan masyarakat. Sejak dilantik sebagai Bupati Pamekasan, KH. Kholilurrahman hadir membawa harapan besar. Figur religius yang dikenal santun dan kharismatik ini diharapkan mampu menghadirkan pemerintahan yang bersih, humanis, dan berpihak pada rakyat kecil. Namun dalam perjalanan waktu, harapan itu tidak sepenuhnya berjalan mulus. Sebaliknya, gelombang kritik publik mulai bermunculan dari berbagai kalangan, mulai dari aktivis, tokoh masyarakat, hingga warga biasa.

Kehadiran KH. Kholilurrahman sebagai pemimpin daerah membawa ekspektasi yang sangat besar. Latar belakangnya sebagai tokoh agama dinilai menjadi nilai tambah, terutama dalam membangun karakter pemerintahan yang bermoral dan jauh dari kepentingan pragmatis. Namun sebagian masyarakat mempertanyakan konsistensi antara citra religius dengan implementasi di lapangan.

Ekspektasi Tinggi, Realisasi Masih Dipertanyakan

Sejumlah kebijakan dinilai belum menyentuh persoalan mendasar masyarakat, seperti pengangguran, infrastruktur pedesaan, hingga pelayanan publik yang masih berbelit. Di beberapa sektor, masyarakat menilai bahwa perubahan yang dijanjikan belum terasa secara signifikan. Hal ini memunculkan persepsi bahwa kepemimpinan KH. Kholilurrahman berjalan terlalu normatif dan belum menyentuh aksi nyata yang berdampak langsung.

Salah satu kritik yang paling sering dilontarkan adalah terkait gaya komunikasi politik pemerintah. Masyarakat merasa suara mereka belum benar-benar didengar. Forum-forum partisipatif seperti dialog terbuka, audiensi publik, atau forum konsultasi dianggap masih terbatas.

Dalam beberapa kasus, kritik atau demonstrasi dari masyarakat tidak direspons dengan pendekatan persuasif. Hal ini justru memperlebar jarak antara pemerintah dan rakyat. Padahal, dalam konteks pemerintahan demokratis, kritik bukanlah ancaman, melainkan energi koreksi yang positif. Ketika rakyat bersuara, yang mereka butuhkan adalah jawaban, bukan pembiaran.

Merangkul atau Membungkam?

Dinamika pemerintahan daerah, kritik adalah cermin yang menunjukkan apakah roda pemerintahan berjalan searah dengan harapan rakyat atau justru melenceng dari jalur aspirasi publik. Di Kabupaten Pamekasan, beberapa bulan terakhir, geliat aksi demonstrasi dari masyarakat, mahasiswa, hingga kelompok aktivis makin sering terlihat dan sering terjadi. Fenomena ini menimbulkan satu pertanyaan mendasar: bagaimana sebenarnya Pemerintah Pamekasan merespons kritik tersebut?, merangkul atau justru membungkam?.

Sebab akhir-akhir ini banyak aksi atau demo gagal, apakah pemerintah takut dikritik sehingga semua yang berkaitan dengan penyampaian aspirasi melalui terun ke jalan gagal.

Sebagai sosok ulama sekaligus tokoh karismatik ini mulanya disambut penuh harapan oleh masyarakat. Figur religius yang dikenal rendah hati ini diyakini mampu membawa pemerintahan yang bersih, adil dan berpihak pada rakyat kecil.

Tujuh bulan waktu berjalan, dan realita politik kembali menunjukkan wajah aslinya, Siapa Bupati Pamekasan? Dalam kurun waktu yang relatif singkat, deretan aksi demonstrasi mewarnai perjalanan pemerintahannya. Mulai dari aksi PKL, mahasiswa, kelompok pemuda, Aktivis hingga masyarakat lainnya bergantian menyampaikan tuntutan di depan kantor bupati.

KH. Kholilurrahman bukan pejabat biasa. Ia adalah tokoh agama, mantan anggota DPR RI, dan pernah menjabat sebagai Bupati sebelumnya. Wajar bila harapan masyarakat melambung tinggi. Mereka berharap perubahan besar hadir secara cepat di Kota Gerbang Salam Pamekasan, terutama dalam hal pelayanan publik, bantuan sosial, jual beli jabatan, lapangan kerja, hingga pemerataan pembangunan inprastruktur Jalan, Jembatan dan Kebutuhan Air Bersih.

Indikasi Kebocoran: Antara Fakta dan Dugaan

Mulai daeri pembelian Kasur yang menghabiskan ratusan juta, pembelian mobil baru seperti mobil inova ribon, valiside, dan Alvard dengan anggaran meliaran rupiah, serta penginapan pejabat di hotel yang juga menghabiskan ratusan juta. 

Sedangkan Kabupaten Pamekasan lagi divisit anggaran alias kekurangan uang, tapi bupati dengan gampang dan mudah membelanjakan uang rakyat dengan berpesta dan menghamburkan-hamburkan uang yang tidak ada keberpihakan kepada rakyat.

Bupati pamekasan dengan mudah dan gamblang menyuruh rakyat pamekasan swadaya untuk memperbaik jalan-jalan ranya sekitar, sedangkan Bupati dengan mudah menganggarkan APBD berkaitan dengan jalan menuju rumah sellir kedua dan ke lembaga pendidikan milik pribadinya.

Ini kan konyol alis lucu sekali ketika rakyat berteriak kelaparan dan menangis keluhkan jalan raya di desa-desa rusak parah, jarang sekali ada perbaikan dari pemerintah. 

Masyarakat berekspektasi tinggi seringkali berujung kekecewaan jika tidak segera dijawab. Ketika masalah klasik seperti mengangkis kemiskinan, pengangguran, keterlambatan anggaran atau minimnya transparansi, sebagian masyarakat mulai meluapkan aspirasi dengan turun ke jalan.

Sebagian besar demonstrasi yang terjadi bukan semata menyerang pribadi sang bupati, melainkan menyuarakan masalah-masalah klasik yang belum terselesaikan, mulai dari ketidakmerataan bantuan sosial, kebijakan anggaran yang dipertanyakan, dugaan ketidaktransparanan rekrutmen jabatan sehingga terindikasi jual beli jabatan, dan banyak keluhan pelayanan publik.

Di era digital, masyarakat tidak lagi bodoh, dan tidak lagi harus sabar menunggu informasi terbaru. Jika dalam hitungan bulan perubahan belum terasa, kritik akan mengalir deras selama kepemimpinanan KH. Kholilurrahman, baik di media sosial maupun melalui demonstrasi.

Divisit Anggaran Pejabat Selalu Habiskan Uang Rakyat Cuma-cuma

Pemerintah Pamekasan hanya sibuk mengeluarkan APBD dengan acara srimunial seakan mau menghabiskan uang rakyat yang tidak ada keperpihkan terhadap rakyat kecil. Rakyat semakin menanggis pejabat bertari-tari menyaksikan kongkalikong yang terstruktur dan masif dalam pengambilan uang pendapatan asli daerah pamekasan. 

Berdasarkan informasi yang beredar di mayarakat, pendapatan asli daerah berupa retribusi parkir di Pamekasan mencapai Rp 4,76 miliar pada tahun 2024, melebihi target yang ditetapkan sebesar Rp 4,73 miliar. Ini pertahun pengelolaannya di duga banyak bocor.

Bocornya perikrutan parkir liar atau parkir resmi di sekitar area pamekasan yang hanya menyetor ke pejabat setiap bulan dengan nominal kecil, misal hanya dengan setoran 300 ribu perbulan, sedang yang di hasilkan oleh penarik parkir perharinya bisa mendapatkan 250 ribu, jadi settoran ke Pemkab Pamekasan cukup di ambilkan dua hari kerja.

Retribusi parkir dengan pendapatan 250 setiap hari, setelah itu dikali 30 hari kerja berjumlah 7,5 jt perbulan, maka pendapatan retribusi parkir dalam satu tahun berjumlah 90 juta, ini masih survi lokasi satu tempat parkir. Lantas sisa-sisa uang tersebut lari kemana?. Padahal setoran ke Dishub hanya 300 ribu perbulan, ini pendapatan dalam 7.500.000-300.00=7.200.000, bocor kemana pendapatan tersebut?. Apakah masuk ke Pemkab atau masuk ke kantong-kantong para oknum penjabat yang tidak bertanggung jawab?. 

Jika pemkab pamekasan mengelola retribusi parkir dengan proporsional berapa pendapatan asli daerah nantinya. Bukan hanya 4.76 Miliar kemungkinan besar bisa bertambah di luar dugaan pemerintah.

Pemerintah harus cerdas dan kreatif dalam rettribusi parkir. Pemerintah harus punya terubosan baru seperti menggunakan printer bluetooth atau alat eletronik canggih mencetak struk parkir yang sudah di format sesuai dengan aturan Dishub Kabupaten Pamekasan.

Demonstrasi Bukan Selalu Pertanda Gagal Melainkan Ketidak Puasan Publik

Melihat dari perspektif lain, maraknya demo di Pamekasan sejatinya menunjukkan bahwa demokrasi lokal berjalan. Masyarakat kini berani bersuara tanpa takut jabatan atau status seseorang. Bahkan sosok kyai sekalipun bisa dikritik dengan lantang jika dianggap tidak memenuhi harapan publik. Seperti pengeluaran anggaran yang cukup pantastik untuk kepentingan pejabat:

– Pembelian Mobil Mewah yang tidak terbuka

– Pejabat Ngenap di Hotel untuk apa?

– Pembelian Baju Dinas

– Pembelian Kasur pejabat

– Pilihkasi terhadap pengayoman rakyat

– Ketimpangan kebijakan, kepada PKL di eks arek lancor yang di pindah ke Foodclony sampai sekarang buntu, hanya janji-janji palsu

– Eks PJKA yang mendapatkan fasilitas rombong dan tenda. Sedangkan PKL Foodclony hanya di janjikan tidak pernah mendapatkan apa-apa? Padahal pindahnya mereka dari area arlan lebih awal dari Eks PJKA, ada apa?

– Pasilitas tempat para PKL yang layak dan tidak melanggar aturan perbub

– Pelayanan Kesehatan: Mahasiswa

– Menuntut perbaikan pelayanan kesehatan, termasuk ketersediaan mesin cuci darah yang dinilai kurang.

– Kerusakan Lingkungan: Penanganan kerusakan lingkungan yang dianggap tidak bertanggung jawab, termasuk masalah tambang ilegal.

– Tata Kelola Pemerintahan: Penguatan tata kelola pemerintahan yang lebih transparan dan akuntabel.

– Nangningnung yang melebihi kebijakan Bupati dan OPD di Kabupaten Pamekasan, apasih jabatanya orang itu…??

– Jasa kontruksi yang oleng akan gulung tikar, pekerjaan sudah selesai namun uang masih di hutang belum cair

– Menyalah gunakan pokir dewan dan pokir pejabat lainnya

– Indikasi jual beli proyek / pokir

– Tembakau Murah

– Minimnya Tekanan Pemerintah terhadap pembeli tembakau 

– Indikasi jual beli pasar kolpajung

– Indikasi Pemerintah takut ke pihak ke-3 sehingga PKL Eks PJKA di anak emaskan

Ada masyarakat yang ingin memaksulkan Bupati, sebab kekecewaannya terhadap kebijakan pemerintah yang keberpihakan terhadap rakyat.

Frekuensi demonstrasi ini juga tidak selalu berarti kegagalan total pemerintah. Justru di era keterbukaan informasi seperti sekarang, seorang pemimpin akan diuji bukan dari seberapa sedikit kritik yang diterima, tetapi seberapa bijak ia menghadapi kritik tersebut. Bupati Pamekasan memiliki peluang untuk mengubah momentum demonstrasi menjadi sarana evaluasi kebijakan. Dengan membuka dialog yang konstruktif, transparan, dan solutif, pemerintah bisa menunjukkan bahwa kritik adalah bahan bakar untuk perbaikan, bukan ancaman bagi kekuasaan.

Pemerintah harus sadar: banyaknya demo tidak selalu pertanda kegagalan pemerintah, melainkan tanda bahwa masyarakat semakin sadar akan haknya. Rakyat Pamekasan hari ini lebih berani menyuarakan pendapat, bahkan kepada pemimpin sekaliber kyai sekalipun.

Publik menilai bukan seberapa banyak kritik yang datang, tetapi seberapa bijak pemerintah menjawabnya dan mencarikan solusinya.

Keadaan saat ini harus disikapi secara dewasa oleh pemerintah. Demo bukan musuh, melainkan cermin. Ia menjadi indikator di mana letak masalah, siapa yang merasa dirugikan, dan kebijakan mana yang harus dievaluasi.

Pemerintah Harus Cepat Merespons Kritik dan Tak Boleh Gagap Menghadapi Kritik

Pemerintah tidak selalu salah, dan pengkritik tidak selalu benar. Tetapi pemerintah wajib menjelaskan, bukan membentak. Pemerintah wajib membuka data, bukan menutup diri. Pemerintah wajib menyelesaikan masalah, bukan memindahkan kesalahan.

Banyak langkah sederhana yang sebenarnya bisa dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Pamekasan untuk meredam kegaduhan sekaligus meningkatkan kepercayaan publik:

Membuka ruang dialog resmi yaitu merespons kritik melalui audiensi, pertemuan terbuka, dan berkala, baik secara luring maupun daring atau konferensi pers yang solutif. Atau menunjuk juru bicara publik yang komunikatif dan terbuka pada kritik. Menggunakan respons formalitas, sekadar menerima aspirasi tanpa tindak lanjut, Respons represif, yaitu membalas kritik dengan tekanan atau pelabelan negatif dan bisa merespons kritik dengan data dan rencana tindak lanjut yang terukur.

Pertanyaan terpenting sekarang adalah: Apakah pemerintah akan menutup diri, atau membuka ruang dialog kepada rakyat…? Atau pemerintah akan membungkam semua kritikan yang datang dari hati nurani mahasiswa, aktivis, dan masyarakat dengan pola lama bungkam (membeeikan uang) pada pengkritis, atau akan mencari solusi terbaik demi kemajuan pamekasan kedepan…???

Walaupun KH. Kholilurrahman sudah melontarkan di media online, bahwa ia, sangat mendukung kebebasan pres dan akan selalu merespon kritikan dari masyarakat, aktivis dan masiswa. 

Namun kenyataanya, jawaban itu belum memuaskan publik karena tidak ada bukti yang nyata dalam pelaksanaannya, hanya retorika pemanis janji-janji politik saja.

Kritik Bukan untuk Menjatuhkan, Tapi Menyadarkan

Kontroversi yang melingkupi kepemimpinan KH. Kholilurrahman sejatinya adalah alarm penting yang tidak boleh diabaikan. Kritik publik bukanlah bentuk kebencian, melainkan wujud cinta terhadap daerah. Rakyat tidak menuntut kesempurnaan, tetapi kejujuran dan keberanian untuk memperbaiki.

Jika pemerintahan KH. Kholilurrahman mampu membuka ruang dialog secara luas, meningkatkan transparansi kebijakan, serta menghadirkan keberpihakan nyata pada rakyat kecil, maka kepercayaan publik dapat dipulihkan kembali. Sebaliknya, jika kritik terus diabaikan, sejarah akan mencatat bahwa kepemimpinan yang awalnya penuh harapan justru berakhir tanpa makna.

Akhirnya, sebuah kepemimpinan tidak diukur dari panjangnya masa jabatan, tetapi dari seberapa besar ia meninggalkan jejak kebaikan di hati rakyatnya.

Penulis : Divisi Pemantau Kebijakan Publik

Komunitas Jurnalis Jawa Timur (KJJT) Wilayah Pamekasan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *