KRONOLOGI SEJARAH IDUL FITRI DAN HARI RAYA

Oleh Muhammad Ali Muhsin Rofiey Notonegoro,Ama.Spd.I_ Wakil Sekretaris *MD KAHMI* Kabupaten Pamekasan. 

Dalam setiap tahun terbit surat Keputusan Menteri Agama untuk penetapan tanggal 1 Syawal tahun hijriah. Penetapan tanggal 1 Syawal itu menjadi dasar pengakuan negara soal pelaksanaan hari raya idul fitri atau lebaran umat Islam di Indonesia. 

Kewenangan itu pertama kali diberikan oleh Presiden Soekarno dalam rangka menertibkan pelayanan kantor pemerintahan. Hal itu karena hari raya agama akan berdampak pada hak beragama pemeluknya untuk menjalankan ritual ibadah khusus.

Dalam Penetapan Pemerintah  No.2/Um Tahun 1946 tentang Aturan Hari Raya.Pasal 5 Penetapan Pemerintah  No.2/Um Tahun 1946 tentang Aturan Hari Raya. Pasal 5 menyebutkan, “Pada Hari Raya Umum, Islam, dan Kristen, maka semua Kantor Pemerintah ditutup, kecuali kantor-kantor pejabatan penting yang menurut pendapatan kepalanya harus dibuka sehari atau setengah hari. Pada Hari Raya Tiong Hoa, maka semua Kantor Pemerintah dibuka setengah hari kecuali kantor-kantor pejabatan penting yang menurut kepalanya harus dibuka sehari, sedang pegawai bangsa Tiong Hoa tidak diwajibkan masuk kantor.

Isi Pasal 6 Penetapan Pemerintah  No.2/Um Tahun 1946 tentang Aturan Hari Raya saat itu memasukkan delapan hari raya agama Islam. Bahkan tanggal 1 Ramadan atau hari pertama bulan puasa Ramadan juga termasuk pada hari raya agama yang berdampak pada libur Kantor Pemerintah.Lebaran ibarat siklus yang setiap masa tertentu datang. 

Justru karena adanya sifat siklus itu maka hari raya disebut Id (‘ _Īd_ ), yang memiliki arti “ _ulangan_ ” atau “ _putaran_ ”. Sama dengan adat (‘adat-un) yang dinamakan begitu karena dilakukan berulang-ulang. Lebaran pun disebut Id karena dia selalu datang dan kembali berulang-kali. Hari raya Islam yang amat penting itu dinamakan *Id* bukan semata-mata karena dia berulang-ulang. Kita mengetahui bahwa nama lengkapnya ialah Idul Fithri (‘Īd al-Fithr). Dalam nama itu yang amat penting kita perhatikan dan renungkan ialah makna perkataan “Fitri” ( _Fithr_ ) yang sama artinya dengan perkataan “ *Fitrah* ”.

“Fitrah” itu bersangkutan dengan salah satu ajaran Islam yang amat penting, yaitu ajaran bahwa manusia dilahirkan dalam kejadian asal yang suci dan bersih (Fitrah), sehingga manusia itu bersifat hanīf (artinya secara alami merindukan dan mencari yang benar dan baik). Jadi kebenaran dan kebaikan adalah _alami_ atau _natural_ , sedangkan kepalsuan dan kejahatan adalah tidak alami, tidak natural, berarti juga bertentangan dengan jati diri manusia yang ditetapkan oleh Allah swt untuk kita.

Karena kepalsuan dan kejahatan itu bertentangan dengan jati dirl kita yang diwakili oleh hati nurani kita, maka setiap kepalsuan dan kejahatan tentu mengganggu rasa ketenteraman. Suatu kali Rasulullah saw ditanya oleh seorang sahabat: “Apa itu dosa, ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Dosa ialah sesuatu yang terbetik dalam batimu dan kamu tidak suka orang banyak mengetahuinya”.

Kita tidak suka orang banyak mengetahui apa yang terbetik dalam hati kita jika yang terbetik itu sesuatu yang bertentangan dengan suara hati kecil (Arab: dlamīr). Oleh karena itu dengan sendirinya dosa akan menjadi sumber kesengsaraan batin, dan tidak jarang menjelma juga menjadi kesengsaraan lahir (psikosomatik).  Jika kita ingin memahami makna fitrah dan fitri sesuai dengan maksud dan esensi maknanya.  

Kebiasaan umat Islam jelang dan dalam suasana lebaran Idul Fitri pada 1 Syawal adalah selalu mengucapkan dan memahami makna Idul Fitri sebagai kembali kepada kesucian. Id berarti kembali, dan fitri berarti suci. Bahkan, sering disamakan makna fitri dengan makna fitrah. Untuk itu, melalui artikel ini mari kita pahami makna fitrah dan fitri sesuai dengan maksud dan esensi maknanya, sekaligus meluruskan makna yang salah kaprah tersebut.   

Kata  Fitrah ( فطرة) berbeda makna dengan kata Fitri (فطر). Namun karena tulisan, bacaan, dan terdengarnya hampir sama, pada umumnya masyarakat menyamakan makna dua kata itu meski beda makna.   Dalam tinjauan *Al-Qur’an* , kata Fitrah terdapat dalam Al-Qur’an _surat Ar- Rum_ ayat 30  “Hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah”.   

Ibnul Jauzi dalam Kitab Zadul Masir, jilid tiga halaman 422 menjelaskan makna fitrah di sini sebagai kondisi awal penciptaan, di mana manusia diciptakan oleh Allah pada kondisi tersebut. Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah yang merupakan potensi atau sifat dasar bagi manusia. Berarti fitrah manusia (فطرة الناس) adalah sifat dasar atau potensi yang ada atau dimiliki oleh manusia. Fitrah manusia diciptakan oleh Allah untuk dikembangkan oleh manusia.   Pada hakekat awalnya, fitrah merupakan _potensi religius_ , faktor dasar ketauhidan manusia untuk mengenal Allah SWT sebagai Rabb dan Khaliq yaitu Tuhan dan Pencipta bagi makhluk (manusia). Dengan fitrah, manusia telah mengenal Allah sebagai sesembahan yang Esa. Bahkan di alam arwah, manusia ditanya oleh Rabb-nya:   الست بربكم؟ قالوا بلى شهدنا “Bukankah Aku sebagai Tuhan kalian? Mereka menjawab: Ya kami bersaksi (Engkau Tuhan bagi kami).”   

Namun demikian, lengah dan lupa kepada Tuhan dan keesaanNya. Sebagai mana penghujung ayat Al-Qur’an itu berbunyi:   انا كنا عن هذا غافلين “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).”   Akibat tidak menjaga janji dengan Tuhan, mereka lengah, kemudian mereka (manusia) mengalami gesekan dengan lingkungannya, atau perubahan fitrah manusia akibat pengaruh lingkungan keluarga dan lingkungan sosial. Sehingga ada manusia yang fitrahnya baik dan menganut ajaran Islam atau menjadi muslim dan mukmin, namun ada juga manusia yang menganut ajaran Nasrani atau agama lain.   Singkatnya, makna fitrah adalah potensi atau faktor dasar bagi manusia yang dalam bahasa Yunani menurut *Aristoteles* disebut Idea innatea yaitu keadaan baik, suci tanpa dosa, dan bisa potensi jahat atau kotor atau salah. 

 *Imam Ibnu Katsir* pernah menjabarkan bagaimana perayaan Idul Fitri terjadi di masa Rasulullah SAW. Dalam sebuah riwayat hadis shahih, Rasulullah pernah merayakan hari pertama raya Idul Fitri dalam kondisi letih. Beliau bahkan sampai bersandar pada Bilal bin Rabah dan menyampaikan khutbahnya.

Menyambut hari kemenangan dengan hal-hal positif memang sangat dianjurkan. Hal itu terbukti bagaimana antusiasnya Rasulullah SAW dalam menyambut Idul Fitri, namun tentu saja beliau tidak menanggalkan syariat agama atau berlebih-lebihan atas sesuatu.

Jauh sebelum Islam datang, masyarakat jahiliyah Arab telah memiliki dua hari raya, yaitu hari raya Nairuz dan Mahrajan yang dirayakan dengan sambutan pesta pora yang tidak bermanfaat. Minum-minuman memabukkan, menari, adu ketangkasan termasuk salah satu ritual dalam perayaan kedua hari raya tersebut. Berdasarkan buku *Ensiklopedi* Islam, kedua hari raya tersebut sejatinya berasal dari zaman Persia Kuno. Di kemudian hari, Rasulullah SAW mengganti kedua perayaan masyarakat Arab itu dengan hari raya yang lebih baik, yakni hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.

Dalam sejarah Islam, perayaan Idul Fitri pertama kali diselenggarakan pada *_624 Masehi atau tahun ke-2 Hijriyah.*_ Waktu perayaan tersebut bertepatan dengan selesainya Perang Badar yang dimenangkan oleh kaum Muslimin. Perang yang terjadi pada Ramadhan itu dengan jumlah pasukan di sisi umat Muslim yang jauh lebih sedikit dibanding kaum kafir, nyatanya diganjar Allah dengan perayaan yang luar biasa indah dan barokah.

Segala kebaikan yang tercurah dari jiwa-jiwa umat Muslim selama Ramadhan, sejatinya sangat terasa pada hari raya Idul Fitri bagi semua elemen. Sehingga bisa dikatakan, perayaan Idul Fitri dapat melingkupi kebahagiaan bagi seluruh umat Muslim dari berbagai kalangan.

Pada Dinasti Abbasiyah, perayaan Idul Fitri dilakukan dengan rangkaian kegiatan yang meriah. Biasanya pada zaman tersbeut, perayaan dilakukan selama tiga hari yang diakhiri dengan menyantap beraneka ragam makanan halal yang disajikan.

Dalam buku Empire of the Islamic World karya Robin Santos Doak dijelaskan, umat Muslim yang berada di jalan-jalan Kota Baghdad dihibur dengan penampilan para musisi dan penyair yang menunjukkan kebolehan mereka. Tentu saja, hiburan tersebut bernilai positif dan tidak melanggar syariat.

Sedangkan Ege Yayinlari dalam Discover Islamic Art in the Mediterranean menyebutkan, para sultan Dinasti Mamluk (1250-1517 Masehi) di Mesir membagikan pakaian, hadiah, dan uang kepada masyarakat saat perayaan Idul Fitri. Di India, para sultan Dinasti Mughal melakukan arak-arakan bersama pengawal kerajaan dalam merayakan Idul Fitri.

Sedangkan semasa periode Kesultanan Ottoman di Turki, ada tradisi membunyikan meriam setiap malam 1 Syawal dalam menyambut Idul Fitri. Meriam ditembakkan ke udara untuk menandai berakhirnya hari raya Idul Fitri. Kesucian hari raya Idul Fitri bukan sesuatu yang harus diterima secara *Taken For Granted.* 

Kita tidak cukup menjadi suci (secara personal), tetapi yang lebih penting bagaimana kesucian itu bisa dipakai untuk menyucikan hal-hal yang lebih besar dan bermanfaat serta berguna untuk agama dan bangsa. Dalam ungkapan James Allen, “Pemikiran mulia akan melahirkan pribadi mulia, pemikiran negatif akan melahirkan kemalangan”. Semoga bermanfaat. 

*_Billahitaufiq wal hidayah_*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *