Nama : Irma Safitri
Prodi : Managemen Pendidikan Islam (MPI)
Status : Mahasiswa IAI Al-Khairat Pamekasan
Media sosial telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan modern saat ini. Hal ini memudahkan komunikasi, memperluas akses informasi, dan memberi ruang bagi siapapun untuk bersuara. Namun, di balik kemudahan tersebut, muncul persoalan serius: krisis kepercayaan terhadap informasi di media sosisal. Dalam lautan konten yang begitu deras, batas antara fakta dan hoax semakin kabur.
Media sosial telah menjadi salah satu sumber utama informasi bagi banyak orang. Namun, kecepatan dan kemudahan akses ini juga memudahkan penyebaran informasi yang tidak akurat atau hoax. Hal ini menimbulkan tantangan besar dalam membedakan antara fakta dan fiksi.
Salah satu penyebab utama krisis kepercayaan adalah algoritma media sosial itu sendiri. Platform seperti Facebook, X (Twitter), dan TikTok yang dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan, bukan akurasi. Konten yang provokatif, emosional, atau kontroversial sering kali lebih disebarluaskan ketimbang informasi yang faktual namun biasa saja. Akibatnya, hoax dan disinformasi bisa tersebar jauh lebih cepat dibanding klarifikasi atau kebenaran. Ketika hoax dan disinformasi menyebar, kepercayaan publik terhadap media dan sumber informasi lainnya dapat menurun.
Fenomena ini berdampak besar terhadap kepercayaan publik, baik terhadap media, institusi, bahkan sesama pengguna. Banyak orang menjadi skeptis tidak tahu harus percaya pada siapa. Sementara itu, sebagian lain justru terjebak dalam “filter bubble”, hanya terpapar informasi yang menguatkan pandangannya sendiri, tanpa menyadari bahwa mereka sedang dimanipulasi oleh informasi palsu.
Lalu, apakah kita masih bisa membedakan fakta dan hoax?
Jawabannya: bisa, tapi butuh usaha aktif. “Literasi digital adalah kunci”.
Kita harus belajar untuk memverifikasi informasi, mengecek sumber berita, dan tidak langsung membagikan sesuatu hanya karena sesuai dengan keyakinan pribadi. Kita juga perlu lebih kritis terhadap konten visual, karena manipulasi gambar dan video makin canggih.
Selain itu, peran platform media sosial dan pemerintah juga sangat penting. Diperlukan regulasi dan kebijakan yang lebih tegas terhadap penyebaran hoax, tanpa mengorbankan kebebasan berpendapat. Kolaborasi dengan lembaga cek fakta, peningkatan edukasi digital di sekolah, serta keterlibatan masyarakat sipil menjadi langkah penting untuk membangun kembali kepercayaan publik terhadap informasi.
Sebagai kesimpulan, krisis kepercayaan akibat media sosial adalah tantangan nyata di era digital.
Namun, dengan kesadaran kolektif pendidikan literasi digital dan tanggung jawab bersama, kita tetap bisa membedakan mana fakta dan mana hoax dan melindungi ruang digital kita dari disinformasi yang merusak. Serta membedakan fakta dari hoax di media sosial adalah tantangan yang kompleks, tetapi bukan tidak mungkin. Dengan upaya bersama dari individu, platform media sosial, dan masyarakat luas, kita dapat membangun kembali kepercayaan dan menciptakan lingkungan informasi yang lebih sehat