PEMIMPIN AKHIR ZAMAN DAN NOSTALGIA ZAMAN SAYYIDINA ALI KW

Oleh Muhammad Ali Muhsin Rofiey Notonegoro, Ama.Spd.I.

Wakil Sekretaris MD KAHMI Kabupaten Pamekasan. 

Fenomena politik kontemporer bisa kita baca dengan kaca mata hikmah klasik ini. Alih-alih sekadar menyalahkan pemimpin, umat juga perlu bercermin pada kondisi moral dirinya. Sebab, perubahan besar dalam kepemimpinan hanya mungkin terjadi jika dimulai dari perbaikan kolektif masyarakat.

Dalam setiap zaman, selalu ada generasi yang merindukan keadilan, keteladanan, dan kepemimpinan sejati. Di tengah hiruk-pikuk dunia modern yang dipenuhi kepalsuan, sebagian orang mencoba bernostalgia—membandingkan pemimpin hari ini dengan sosok ideal dari masa lalu. Namun sayangnya, nostalgia itu sering kali menjadi ilusi: nostalgia terhadap “zaman Sayyidina Ali” yang justru palsu, bukan karena sosok beliau tidak agung, melainkan karena nilai-nilai yang dulu beliau tegakkan kini hanya dijadikan slogan kosong oleh sebagian pemimpin masa kini.

(Raden Bindoro Ali Muhsin Rofiey Notonegoro, Ama. Spd.I).

Imam Al-Ghazali, dalam bukunya Ihya’ Ulumuddin, menjelaskan bahwa pemimpin merupakan cerminan dari masyarakatnya. Beliau menekankan bahwa masyarakat yang mementingkan keadilan dan moralitas akan memiliki pemimpin yang juga adil dan bermoral. Sebaliknya, jika masyarakat tidak peduli dengan nilai-nilai tersebut, maka pemimpin yang muncul akan kurang memperhatikan prinsip-prinsip tersebut.

Syekh Muhammad Abduh, seorang ulama reformis dari Mesir, juga mengemukakan pandangan serupa. Ia berpendapat bahwa perubahan sosial dan politik bergantung pada kesadaran dan tindakan masyarakat itu sendiri. Masyarakat yang tidak aktif dalam memperjuangkan kebaikan akan menciptakan pemimpin yang tidak berkomitmen pada nilai-nilai tersebut. 

PEMIMPIN YANG IDEAL

Pemimpin itu laksana naungan Allah yang berada di bumi, begitu riwayat Imam Baihaqi, di Kitab Syu’ab al-Iman. Agung betul derajat seorang pemimpin dalam Islam. Sampai-sampai dikatakan sebagai bayangan Allah di bumi. 

Imam al-Suyuti dalam al-Jami’ al-Saghir Jilid I (h. 496), Pemimpin tempat umat mengeluh dan mengadu. Pemimpin pula tempat orang yang lemah menuntut hak. Kepada pemimpin juga orang yang dizalimi mengadu nasib dari mereka yang berkuasa dan berkekuatan. 

Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas. membagi tiga hal yang menjadi akar masalah umat : Pertama adalah Ilmu yg rusak. Kedua, loss of adab (hilangnya adab). Ketiga, kemunculan pemimpin palsu, masalah yang ketiga tersebut berkait erat dengan masalah pertama. Sehingga masalah ketiga muncul disebabkan masalah ilmu.

Fenomena keruntuhan adab, menurut al-Attas, melahirkan hilangnya keadilan (justice), baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Konsekuensi logisnya, hilangnya keadilan melahirkan hilangnya wisdom (hikmah) atau kebijaksaan.

Karena keduanya memang direfleksikan oleh adab. Ketika keadilan dan hikmah sirna maka individu dapat berlaku zalim atau bersikap tidak adil (unjustice) sehingga tidak mampu meletakkan sesuatu secara proporsional. Karena yang terjadi adalah corruption of knowledge karena telah telah terjadi disintegrasi adab. (Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 16-19).

Disintegrasi adab tersebut mewujud dalam masalah-masalah spiritual, intelektual, dan kultural, seperti: menyamakan Kitab Suci Al-Qur’an dengan kitab-kitab lain; menyetarakan Nabi Muhammad dengan nabi-nabi lain; menyamakan ilmu agama dengan ilmu lain; menyamakan hidup di dunia dengan hidup di akhirat; pemimpin sejati disejajarkan dengan para pemimpin palsu.

(Al-Attas,“Introduction”, dalam al-Attas , Aims and Objectives of Islamic Education Jeddah Hodder and Stoughton-King Abdul Aziz University, 1979), 14).

Dari loss of adab lahir kebingungan dan kerancuan ilmu; dari kerancuan ilmu dan loss of adab lahirlah para pemimpin palsu. Yaitu, para pemimpin yang tidak identitas dan integritas dalam memimpin.

Mereka tidak amanah dalam menjalankan kepemimpinan mereka. Bahkan, dalam pandangan al-Attas, dari loss of adab dan corruption of knowledge secara khusus, melakhirkan ulama palsu (false ‘ulama), yaitu mereka yang membatasi ilmu hanya pada domain fiqh. “…who restrict knowledge (al-‘ilm) to the domain of jurisprudence (fiqh). Sehingga, mereka tidak layak mengikuti para mujtahidun: para Imam hebat yang upaya individual mereka mengukuhkan mazhab hukum fiqih dan hukum dalam Islam. (Al-Attas, “Introduction”, 8).

Dalam sejarah Islam kita mengenal para ulama sebagai sosok generik: dia pakar kalam, tafsir, ushul fiqih, filsafat, bahkan fiqih. Sebut saja misalnya, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam al-Syafi’i, Imam Ahmad, Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam al-Dzahabi, Imam ibn al-Atsir, Imam al-Baqillani, Imam Ibn ‘Asakir, Imam ibn Katsir, bahkan Imam Nawawi al-Bantani, Tengku Muhammad Hasbi as-Shidieqi, Buya Hamka, dan banyak lagi. Mereka contoh dari ulama sejati itu.

Selain ulama yang “palsu”, hari ini banyak bermunculan kaum intelektual sekular, yang mengambil inspirasi dari Barat. Secara ideologi, mereka sejalan dengan kaum “pembaharu” modernis dan para pengikutnya; sebagian mereka bahkan mengikuti pandangan kaum “pembaharu” tradisionis dan para pengekornya.

Kebanyakan mereka tidak mengambil pengetahuan dan epistemologi Islam sebagai dasar intelelektualitas dan spiritualitas mereka. Jadi, mereka ini terpisah jauh dari pendekatan kogninitif dan metodologis terhadap sumber dan pengajaran Islam. (Al-Attas, “Introduction”, 10). Ini semuanya disebabkan oleh loss of adab itu.

Penting juga untuk dicatat bahwa loss of adab tidak serta-merta melahirkan ketiadaan ilmu. Tetapi maknanya juga kehilangan kapasitas dan kemampuan untuk mengenal dan mengakui para pemimpin sejati. (Al-Attas, “Introduction”, 12).

Ini mengingatkan pada peringatan futuristik dari Nabi Muhammad. Nabi ﷺ bersabda;

 قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ

“Rasulullah ﷺ  bersabda, “Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Ketika itu pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur malah didustakan, pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat. Pada saat itu Ruwaibidhah berbicara.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud Ruwaibidhah?”. Beliau menjawab, “Orang bodoh yang turut campur dalam urusan masyarakat luas.” (HR: Ibnu Majah).

 KRITERIA PEMIMPIN PILIHAN DALAM Al-QUR’AN

Tugas berat yang di emban seorang pemimpin, membuat mereka dikaruniai kemuliaan dari Tuhan. Imam Bukhari dan Imam Muslim, melukiskannya, kelak di hari kiamat pemimpin adil akan mendapatkan naungan, di mana tidak ada perlindungan selain dari Allah. Kelak juga balasan atas jasanya ialah surga. 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ الْإِمَامُ الْعَادِلُ

 “Dari Abu Hurairah ra, dari Nabi Muhammad saw, ia bersabda, ‘Ada tujuh kelompok orang yang dinaungi oleh Allah pada hari tiada naungan selain naungan-Nya, yaitu pemimpin yang adil.” Bagaimana bisa kutemukan pemimpin sejati di tengah tumpukan para pesolek gila kuasa dengan kualitas menengah.

Ketika kekaguman pada ”nama-nama besar” mulai pudar akibat kemerosotan wibawa pusat teladan, banyak orang mengalihkan kekagumannya pada diri sendiri. Hanya berbekal penampilan, sumbangsih tipis atau kantong tebal, seseorang sudah merasa pantas memimpin.

Situasi inilah yang melahirkan onggokan sampah pemimpin plastik, yang tidak otentik di ruang publik. Semoga bermanfaat.

Billahitaufiq Wal Hidayah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *