Oleh Raden Bindoro Ali Muhsin Rofiey Notonegoro, Ama. Spd.I.
Wakil Sekretaris MD KAHMI Kabupaten Pamekasan
Rumah besar bernama “PESANTREN” akan terus berkembang, akan terus maju untuk mengasah kualitas keilmuan, keumatan dan kebangsaan
Pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia yang memiliki peran penting dalam membentuk karakter, moral, dan intelektual bangsa. Sejak masa perjuangan kemerdekaan hingga era digital saat ini, pesantren selalu menjadi benteng moral dan pusat peradaban Islam Nusantara. Santri sebagai aktor utama di dalamnya, kini dihadapkan pada tantangan baru: bagaimana menjaga tradisi keilmuan dan nilai-nilai keislaman di tengah derasnya arus modernisasi dan globalisasi.
Pesantren sebagai Kawah Candra dimuka, pondok pesantren memiliki peran penting dalam membentuk karakter bangsa. Sejarah bangsa Indonesia tidak lepas dari kontribusi pesantren yang telah melahirkan ulama, cendekiawan, hingga pejuang dan pemimpin bangsa.
Di tengah modernisasi, pesantren seperti menjadi pase. Tempat anak-anak belajar ilmu agama dan nilai-nilai kehidupan seperti tanggung jawab, disiplin, dan akhlak mulia.
Sekitar Tahun 2010 Nurcholish Madjid (Cak Nur) pernah memprediksi bahwa akan muncul gelombang profesor dari kalangan santri. Ia membaca tren bahwa santri tradisional muncul sejak 1990-an dalam menempuh pendidikan tinggi.
Fenomena yang dulu dibayangkan Cak Nur Kholis Madjid kini menjadi kenyataan. Santri-santri mulai menembus ruang akademik modern. Mereka tak lagi hanya belajar fiqh, tapi juga sains, ekonomi, teknik, dan kebudayaan.
Santri masa kini hidup dalam dunia yang serba digital. Akses informasi terbuka luas, media sosial menjadi panggung utama, dan teknologi kecerdasan buatan mulai mengambil peran dalam kehidupan sehari-hari. Di satu sisi, ini adalah peluang besar bagi santri untuk memperluas wawasan dan berdakwah dengan cara yang lebih modern. Namun di sisi lain, era digital juga membawa ancaman: penyebaran hoaks, degradasi moral, dan lunturnya adab dalam berinteraksi.
Santri dituntut tidak hanya memahami ilmu agama secara mendalam, tetapi juga melek teknologi dan informasi. Mereka harus mampu berdakwah melalui media digital, menjadi influencer kebaikan, dan menghadirkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin di ruang publik dunia maya. Pesantren perlu menjawab kebutuhan ini dengan membuka ruang pendidikan digital, mulai dari literasi media, desain komunikasi, hingga kewirausahaan berbasis teknologi.
Sekarang banyak wajah-wajah santri yang mengisi ruang kampus umum dan dunia internasional. Ada Salahudin Kafrawi mengajar filsafat di Amerika; Etin Anwar menulis tentang feminisme; Ismail Fajri Alatas mengajar di New York; Eva Nisa mengajar antropologi di Australia. Di bidang sains dan teknologi, Muhammad Azis menjadi profesor Energy and Process Integration Engineering di Jepang; Hendro Wicaksono seorang Prof bidang Data-Driven Industrial Systems di Jerman; Bakhtiar Hasan menekuni Biostatistika di Belgia dan masih lagi.
Dalam negeri, ada Burhan Muhtadi (alumni Australia), pakar survei dan guru besar FISIP UIN, Agus Zainal Arifin (alumni Jepang) ahli informatika di ITS, hingga TB Ace Hasan Syadzily, santri-akademisi-politisi yang menjadi Gubernur Lemhannas.
Prediksi Cak Nur Kholis Madjid bukan sekadar soal gelar, tapi lahirnya generasi baru Islam yang berpikir universal tanpa kehilangan akar spiritual. Para santri ini menulis jurnal ilmiah sambil tetap membaca Ihya’ Ulumuddin, berbicara tentang epistemologi tapi masih bershalawat sebelum mengajar.
Generasi santri akan terus melahirkan generasi seterusnya, penerus Cak Nur dan Gus Dur, akan terus bergerak—menggabungkan olah pikir dan zikir hati, menembus laboratorium dan masjid, menulis dengan akal tapi juga dengan hati.
Dengan banyaknya generasi santri yang telah berhasil di produksi oleh Pesantren, pesantren dan santri harus siap mengabdi pada umat dan bangsa sesuai dengan kualitas. Pesantren menjadi bagian sub-kultur Nusantara adalah institusi tradisional pendidikan agama Islam yang eksis sejak abad 15 Masehi, hingga kini memasuki era post modernisme, dengan keajegan landskap seperti masjid atau majlis, asrama ( kobong), kiai, santri, kitab kuning ( kurikulum). Terus berkembang seiring zaman yang terus bergerak cepat.
Pada etape zaman ini, pesantren mulai harus terbuka atas fenomena sosial, perlawanan Gen Z atas kekakuan hidup, perlawanan Gen Z atas ketidakadilan, korupsi, dan hal hal yang intimidatif. Dengan cara ala pesantren, ada sikap membaca watak sosial, mengambil posisi mujawir ( membaur tapi tak bercampur), membaca keinginan, menyikapi keadaan zuhandenes di kalangan Gen Z, yang sewaktu waktu tindakan anarkisme tak terduga.
Pesantren tidak perlu mempertahankan egoisme elitis yang justru menciptakan jarak jauh, ketidaknyamanannya mereka untuk mengeluh dan mengadu, karena tetap masyarakat hari ini adalah anak-anaknya kiai pesantren, bukan hanya santri.
Pesantren, harus bersikap cepat untuk memposisikan sebagai tempat yang nyaman, aman dan damai dalam situasi pembelajaran, menguatkan sikap ketaatan atas agama, kenyamanan aktivitas dan kebersamaan santri. Tidak perlu lagi ketertutupan atas disiplin pesantren, tentu dengan kompromi semua pihak. Ada fakta integritas yang perlu disodorkan saat pendaftaran santri baru, antara pesantren, santri dan orang tua, bahkan bila perlu disaksikan pihak kepolisian. Ini jika diperlukan.
Sistem harus jadi pijakan dan tidak terlalu mengandalkan superioritas pimpinan pesantren, meski ada hak atas itu. Dari sistem itu agar tidak ada lagi terjadi bullying, pelecehan seksual, bahkan pemerasan atas nama program pesantren. Saya kira mari pertahankan yang lama dan baik, dan mengambil yang baru dan lebih baik. Pesantren harus hadir menjadi penjaga moralitas bangsa sekaligus lokomotif pencerahan bangsa Indonesia.
Pada akhirnya, pesantren bukanlah sekadar institusi pendidikan, melainkan sebuah rumah yang merangkul, membimbing, dan menempa jiwa para santri. Di balik setiap aturan yang dijalankan, terselip cinta yang mendidik; di balik setiap pembiasaan, ada doa yang menguatkan. Kepercayaan dan sinergi antara orang tua dan para pengasuh adalah kunci agar proses ini berjalan utuh.
Sebab dengan cinta yang tulus, disiplin yang konsisten, dan doa yang tidak pernah putus, pesantren akan melahirkan generasi yang berkarakter kuat, berani dan bertanggung jawab,berhati lembut, dan siap memberi cahaya bagi kehidupan umat, bangsa dan Negara
Semoga bermanfaat.
Billahitaufiq Wal Hidayah

 
							