RASIONALISASI LAILATUL QADAR DAN PUNCAK PRESTASI KEROHANIAN

Oplus_131072

Oleh Muhammad Ali Muhsin Rofiey Notonegoro, Ama.Spd.I

Wakil Sekretaris *MD KAHMI* Kabupaten Pamekasan

(spiritual achievement) 

Ada yang menarik dalam surat Al Qodr ayat kedua dengan menggunakan kata “ *_ma adraka_* ”, yang biasanya digunakan dalam al-Qur’an untuk menunjukkan suatu objek pertanyaan tentang hal-hal yang _sangat hebat_ dan sulit dijangkau hakikatnya secara sempurna oleh akal pikiran manusia, bersifat gaib. Memahami lebih jauh kata “adra (أَدْرٰى)” dalam ayat “wa ma adraka ma lailatul Qadar (وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيلَةُ القَدْرِ).” Berasal dari kata dara (دَرٰى). Artinya ‘alima (عَلِمَ). Yaitu mengetahui (ilmu). Kata “dara (دَرٰى)” juga berarti faham. Termasuk memahmi ilmu yang diketahuinya. Orang yang mendapatkan jawaban tentang ilmu setelah sebelumnya buntu dibahasakan dengan “dara (دَرٰى).” “Dara (دَرٰى) pun menyimpan arti menyeluruh dan menguasai. Pengetahuan dan pemahaman tidak diungkapkan dengan derivasi dari kata “dara (دَرَى)” kalau belum menyeluruh dan belum menguasai.

Dalam tradisi para *ulama level mujtahid* ada kalimat “la adri (لَا أَدْرِي),” artinya “saya tidak tahu,” saat dihadapkan kepada pertanyaan yang belum mereka kuasai dan belum mereka dalami jawabannya. Bukan karena mereka tidak tahu sama sekali tapi masih perlu waktu untuk mematangkannya. Dengan demikian yang tidak diketahui dari Lailatul Qadar adalah pengetahuan tentangnya yang menyeluruh. Adapun bagian-bagiannya, tentang waktu datangnya, misalnya, meski memang sangat samar, maka dapat diketahui. Meski tetap tidak sampai kepada level pasti.

 *Pendapat ahli Fafsir* 

Para mufassir membedakan kata “adraka (أدْرَاكَ)” dan kata “yudrika (يُدْرِيكَ).” Kata adraka (أدْرَاكَ) memang menunjukan ketidakmampuan menguasai pengetahuannya tapi kemudian Allah memberitahukan setelahnya. Termasuk dalam hal Lailatul Qadar, setelah ditanyakan dengan kalimat “ma adraka (مَا أدْرَاكَ),” pada ayat berikutnya Allah lalu memjelaskan bagian terpenting dari Lailatul Qadar. Yaitu malam (hari) yang lebih baik dari seribu bulan. Yang ditanyakan dengan kata ma (مَا) adalah substansi.

Sementara yang diberitahukan Allah adalah sifat-nya. Yakni masih banyak sisi Lailatul Qadar yang belum diberitahukan menuju substansinya. Termasuk kepastian tanggalnya setiap tahun. Hanya saja karena redaksinya “adraka (أدْرَاكَ)” maka bagian-bagian dari Lailatul Qadar yang belum dijelaskan itu tetap terbuka untuk dapat diketahui. Berbeda dengan “yudrik (يُدْرِيكَ)” yang tidak Allah beritahukan pengetahuannya secuil pun dalam Al-Quran kepada Rasulullah Saw dan atau kepada siapapun, termasuk para malaikat. Hanya Dia yang tahu. Yaitu tentang kapan terjadinya Kiamat. *Prof. Quraish Shihab* berpendapat, kata Qadar itu paling tidak memiliki tiga arti yakni, (1) _penetapan_ dan _pengaturan_ , (2) _kemuliaan_ dan (3) _sempit_ . Ketiga arti tersebut menurutnya  menjadi benar, karena bukankah malam tersebut adalah malam yang mulia karena diturunkannya al-Qur’an, yang bila dapat diraih maka akan menetapkan perjalanan masa depan hidup manusia, juga bahwa pada malam itu malaikat-malaikat turun ke bumi membawa kedamaian, sehingga seakan bumi  terasa sempit dengan kehadirannya. Para ulama mempunyai pendapat yang berbeda-beda mengenai sebab penamaan lailatul-qadar antara lain:

 *Syekh Mushthafa al-Hadidi* menyatakan bahwa dinamai lailatul-qadar karena kemuliaan segai titik tolak turunnya wahyu Ilahi di dalamnya (Mushthafa Hadidi, 1976: 56).

 *Al-Qurthubi* mengartikan lailatul-qadar  sebagai _lailatul hukmi_ yang bermakna “malam takdir atau penetapan.” Dinamakan demikian karena sesungguhnya Allah menetapkan pada waktu itu apa yang dikehendaki-Nya untuk diterapkan pada tahun berikutnya, yaitu menyangkut ajal, rezki, dan sebagainya, dengan menyerahkan kepada penanggungjawab urusan, yaitu empat malaikat: Jibril, Mikail, Izrail, dan Izrail (Lihat: Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad bin al-Anshari al-Qurthubi, J. XXX,  1967:150.).

 *Al-Baghdadi* mengemukan makna al-qadar sebagai pemberitahuan oleh Allah SWT kepada para malaikat tentang ketentuannya dan memerintahkan mereka melaksanakan tanggungjawabnya pada tahun itu. Jadi, tidak dimaksudkan Allah bahwa Allah SWT membuat ketetapan (hukum) pada waktu itu, karena Allah SWT telah menetapkan ketentuan-ketentuan tersebut sejak zaman ‘azali, sebelum menciptakan langit dan bumi (Lihat: Alauddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdadi, J. VII, 1955: h. 271).

Mengenai kapan terjadinya lailatul-qadar, agaknya para ulama hadis tidak sependapat. Dalam kitab Fathul Bary, Ibnu Hajar al-‘Asqalani mencantumkan 45 pendapat tentang terjadinya lailatul-qadar  lengkap dengan periwayatnya. Riwayat tersebut dinukilkan pula oleh *asy-Syaukani* dalam _Nailul Authar_ . Sebagian berpendapat bahwa lailatul-qadar hanya terjadi satu kali, yaitu pada masa Rasulullah SAW, al-‘Asqalani cenderung pada pendapat ini.

Adapun makna lailatul-qadr yang diperingati oleh umat Islam setiap tahunnya adalah untuk memberi motivasi kepada mereka agar dapat memperbanyak amal ibadah, karena malam tersebut tetap mempunyai berkah dan kemuliaan. Akan tetapi pendapat ini mendapat tantangan dari ulama lain. Mereka mengatakan bahwa pada umumnya sahabat Nabi dan ulama sesudahnya beranggapan bahwa lailatul-qadar itu terjadi setiap bulan Ramadhan sampai hari kiamat. Dalil yang mendasari pendapat ini ialah Hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah RA:

حدثنا قتيبة بن سعيد حدثنا إسماعيل بن جعفر حدثنا أبو سهيل عن أبيه عن عائشة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال تحروا ليلة القدر في الوتر من العشر الأواخر من رمضان -البخاري ١٨٧٨

Dalam al-Bukhari 1878: Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Ja’far telah menceritakan kepada kami Abu Suhail dari bapaknya dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Carilah Lailatul Qadar pada malam yang ganjil dalam sepuluh malam yang akhir dari Ramadhan.”(HR. al-Bukhari)

Bila dikaji pendapat-pendapat yang dikemukakan di atas, tampak bahwa pendapat yang disebutkan terakhir berpijak pada argument yang lebih kuat, sehingga lebih banyak dijadikan pegangan oleh ulama-ulama tafsir.

Mengenai kapan saat yang tepat turunnya lailatul-qadar, para ulama berbeda pendapat. Ada yang berpendapat pada malam ke 21, 23, 25, 27, bahkan pada malam ke-29 setiap bulan Ramadhan. Akan tetapi yang terbanyak dari mereka itu adalah yang menyatakan pada malam ke-27 Ramadhan (Sayyid Sabiq, [t.th.]:h. 472). Pendapat yang terbanyak ini berpegang pada Hadis Ibnu Umar:

أخبرنا عبد الله بن صالح حدثني الليث حدثني عقيل عن ابن شهاب قال أخبرني سالم بن عبد الله أن عبد الله بن عمر قال إن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال التمسوا ليلة القدر في السبع الأواخر- الدارمي ١٧١٧

Telah mengabarkan kepada kami Abdullah bin Shalih telah menceritakan kepadaku Al Laits telah menceritakan kepadaku ‘Uqail dari Ibnu Syihab, ia berkata; telah mengabarkan kepadaku Salim bin Abdullah bahwa Abdullah bin Umar, ia berkata; sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Carilah lailatul-qadar pada tujuh hari terakhir (bulan Ramadhan) (HR. al-Darimi).

Tidak adanya penetapan yang pasti mengenai saat yang pasti turunnya lailatul-qadr, tentu mempunyai hikmah yang penting bagi umat Islam. Di antaranya ialah agar mereka tidak hanya mem-focus-kan diri beribadah pada satu malam saja, tetapi juga pada malam-malam lainnya, terutama malam-malam terakhir di bulan Ramadhan.Jika di analisis terkait dengan malam Lailatul qadar. Setiap umat Islam yang telah menjalani ajaran Islam dengan baik, maka dipastikan memiliki potensi untuk memperoleh anugerah _lailatulqadr_ . Namun secara tipologis akan dapat dikategorikan sebagai berikut: 

*1* ) para ahli tasawuf yang sudah memasuki dunia _tajalli_ atau memasuki area ketuhanan atau kedekatannya dengan Allah itu sudah dalam kemenyatuan, maka memiliki potensi yang sangat besar. Kemenyatuan itu adalah bahasa simbolis bukan bahasa realitas. Artinya manusia yang berbadan fisik itu lalu masuk ke dalam Tuhan, tetapi melambangkan tentang kedekatan yang tidak terpisah jarak secara spiritual atau alam ruhaniyah.

 *2* ) para alim atau ahli ilmu, misalnya ahli fiqih, ahli hadits, ahli  tafsir juga potensial untuk mendapatkan rahmat Allah yang berupa berkah lailatul qadr. Dan ke 

*3* ) adalah orang awam juga potensial untuk mendapatkan malam Lailatul qadar. Hanya saja bahwa upaya untuk memperoleh malam Lailatul qadar, bagi ketiganya memang berbeda.

Apakah malam Lailatul qadar itu ada ? Parker Carner, ilmuwan NASA menyatakan bahwa NASA menyembunyikan fakta tentang lailatul qadar. Malam  Lailatul Qadar atau disebut *_baljah_* di mana suhu di bumi sedang dan tidak ada meteor jatuh ke bumi, lalu pada  pagi harinya matahari terbit tanpa radiasi. Setiap hari terdapat sebanyak 10 bintang dan 20 ribu meteor yang jatuh ke bumi dan pada malam Lailatul qadar itu tidak ada satupun bintang dan meteor yang jatuh. NASA sudah menemukan fakta ini sesuai dengan pernyataan  Dr. Abdul Basyid As Saeed bahwa lailatul qadar merupakan fenomena yang nyata.  Dari temuan NASA ini, akhirnya Parker Carner masuk Islam.

Kebenaran Islam sudah dibuktikan tidak hanya dengan akal transcendental tetapi juga dengan akal ilmiah. Jika sudah seperti ini, lalu apakah ada yang menyangsikan kebenaran Islam. Saya kira memang hanya hidayah Allah saja yang memastikannya.

 *_Billahitaufiq wal hidayah_* 

 _Wallahu a’lam bi al shawab_

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *