Yayasan Griya Jati Rasa Gelar Pelatihan Eco-Enzym Sampah Organik Rumah Tangga Menurunkan Gas Metana dan Gas Rumah Kaca

Ekspos.id, Sleman, DI Yogyakarta — Dalam upaya menekan laju perubahan iklim dan mendukung program penurunan emisi karbon, masyarakat Sleman mengikuti pelatihan pembuatan Eco-Enzym dari sampah organik rumah tangga yang digelar oleh komunitas peduli lingkungan bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat. Kegiatan ini menjadi langkah konkret dalam mengurangi gas metana dan gas rumah kaca yang berasal dari tumpukan limbah organik.

Yayasan Griya Jati Rasa mengawal komitmen Indonesia untuk penurunan emisi karbon sampai 3,8% pada tahun 2030. Dengan berbagai kolaborasi, Yayasan Griya Jati Rasa terus menggalakan berbagai kegiatan langsung dengan masyarakat di DI Yogyakarta. Hari Kamis, 6 November 2025, jam 08.00 – 10.00 bertempat di Gereja Kristen Jawa (GKJ) Sarimulyo di Jl Raya Kaliurang KM. 5,6 Gang Pandega Bhakti No. 20, Sleman dilakukan pelatihan eco-enzym dengan fasilitator Ibu Tsalis Siswanti adalah Ketua Eco Enzyme Nusantara Bantul. 

Pesertanya yang berjumlah kira-kira 80 orang terdiri dari Warga Jemaat Gereja yaitu Kelompok Adiyuswo, warga Masyarakat Sekitar dan Anggota Koperasi Konsumen Griya Jati Rasa. Pendeta GKJ Sarimulya, Gunawan Adi Prabowo S.Si, M.Fil, menyambut kerjasama ini karena 

memberikan kesempatan kepada gereja untuk terlibat dalam melakukan kegiatan merawat diri seperti senam kebugaran yang dilakukan oleh kelompok adiyuswo yang diikuti oleh para tetangga non Kristiani, sekaligus juga merawat bumi yang sudah tua.

Fasilitatir kegiatan, Ibu Tsalis Siswanti, menjelaskan bahwa pelatihan ini tidak sekadar mengajarkan pembuatan produk ramah lingkungan, tetapi juga memberikan kesadaran baru tentang pengelolaan limbah organik yang berdampak langsung pada penurunan emisi gas metana.

“Sampah organik yang menumpuk di tempat pembuangan menghasilkan gas metana, salah satu penyumbang terbesar efek rumah kaca. Dengan diolah menjadi Eco-Enzym, sampah itu justru berubah menjadi solusi, bukan masalah,” ujarnya.

Selama pelatihan, peserta diajarkan teknik pembuatan Eco-Enzym menggunakan bahan dasar sisa sayur, kulit buah, dan gula merah. Hasil fermentasi tersebut kemudian diolah menjadi cairan multifungsi yang ramah lingkungan. Kegiatan juga diisi dengan praktik langsung, diskusi manfaat, dan testimoni dari warga yang telah merasakan dampak positif penggunaan Eco-Enzym di rumah mereka.

Menurut Ibu Tsalis, pelatihan ini adalah bagian dari upaya menyebarluaskan kesadaran ekologis di tingkat masyarakat akar rumput.

Sebagaimana tema kegiatannya adalah “Ayo rawat bumi yang sudah tua, rawat diri sendiri dan lingkungan dengan kasih”. Dalam sambutan untuk mengantar pelatihan, Farsijana Adeney-Risakotta, Ph.D sebagai 

direktur Yayasan Griya Jati Rasa menyatakan bahwa tujuan pelatihan ini untuk mendorong pertanggungjawaban individu dalam menurunkan gas metana yang dihasilkan dari proses pembusukan sampah organik yang terjadi tanpa oksigen (anaerobik) karena tidak diolah secara benar. 

Eco-enzyme adalah cara dekomposisi sampah organik secara aerobik (dengan oksigen) dan menghasilkan produk setara dengan cairan pembersih lumut, pembersih kloset, pembersih lantai atau juga adalah pupuk. Menurut penelitian, cairan eco-enzyme dalam volume yang banyak bisa digunakan untuk menurunkan gas metana sampai 41,5% di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). 

Pesan moral yang disampaikan pun sederhana namun mendalam: Bumi sudah tua dan lelah. Bila bukan kita yang merawatnya dengan kasih, siapa lagi?

Dengan pelatihan seperti ini, Sleman menjadi salah satu daerah yang memelopori gerakan transisi energi berbasis kearifan lokal dan ecolife berkelanjutan. Harapannya, inovasi eco enzym menuju pemanfaatan gas etana dapat menjadi solusi nyata mengurangi dampak gas rumah kaca serta memperpanjang usia bumi yang semakin renta, ucapnya.

Lebih lanjut dijelaskan oleh Farsijana sambil mengutip website “Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Organik di Indonesia”https://sipsn.kemenlh.go.id/sipsn bahwa ada sekitar 67,59% atau 24.777.389.76 (ton/tahun) sampah organik yang tidak bisa diolah di Indonesia. Sedangkan di DI.Yogyakarta menurut data ada 100-120 ton per hari atau 60% dari total sampah organik/basah yang tidak bisa diolah. Data ini memprihatinkan terutama di kabupaten Sleman, 

sampah organik rumah tangga tidak bisa ditampung di TPA. Sementara warga juga belum mempunyai pengetahuan dalam mengelola sampah organik sehingga pembiaran sampah organik di rumah-rumah bisa menghasilkan penimbunan gas metana yang berbahaya untuk lingkungan. 

Sampah basah yang tidak terolah inilah sumber gas metana yang adalah gas rumah kaca. Di Indonesia, 12% total emisi gas rumah kaca nasional berasal dari limbah organik. Sedangkan secara global, gas metana menyumbang 20% dari total emisi rumah kaca. Jadi pelatihan eco-enzym ini kiranya bisa mendorong kesadaran bersama dalam masyarakat untuk bisa mengolah sampah rumah tangganya secara bertanggungjawab (Farsijana)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *