Oleh Muhammad Ali Muhsin Rofiey Notonegoro, Ama.Spd.I.
Wakil Sekretaris MD KAHMI Kabupaten Pamekasan
Kepemimpinan profetik dan Idul Adha saling terkait, di mana kepemimpinan profetik menekankan pada keteladanan dan integritas, sedangkan Idul Adha adalah momen untuk merayakan keteladanan Nabi Ibrahim dan mengaplikasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Idul Adha, sebagai hari raya kurban, juga menjadi kesempatan untuk berbagi dan mengamalkan nilai-nilai kepemimpinan profetik dalam bentuk kebaikan sosial. Kepemimpinan Profetik (Prophetic Leadership) adalah kemampuan seorang pemimpin untuk memimpin dengan meneladani sifat-sifat Nabi Muhammad SAW. Idul Adha adalah hari raya besar umat Islam yang diperingati dengan menyembelih hewan kurban.Diriwayatkan oleh Al-Qurthubi diterima dari Ali bin Abu Thalib dan Muhammad bin Ka’ab. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Kami berqurban bersama Nabi SAW di Hudaibiyah, satu unta untuk tujuh orang, satu sapi untuk tujuh orang.“ (HR. Muslim, Abu Daud, Tirmidzi).
Kata qurban berasal dari bahasa Arab “Qoroba-Yaqrobu-Qurbanan”, Sesuatu yang dekat atau mendekatkan, yakni dekat dan mendekatkan diri kepada Allah yang memerintahkan ibadah ini. Qurban sering disebut udhhiyah atau dhahiyyah artinya hewan sembelihan, fisiknya hewan yang disembelih, tetapi hakikatnya ialah pengorbanan dan pengabdian diri sepenuh hati kepada Ilahi Rabbi.Pengorbanan Ibrahim, Siti Hajar, dan Ismail itu sungguh revolusioner. Bagaimana Nabi Ibrahim dan Siti Hajar rela putra tercintanya harus disembelih (menjadi objek korban) atas perintah Tuhan. Ismail nan belia pun pasrah sarat ketaatan.
Padahal perintah korban itu diperoleh Ibrahim hanya lewat mimpi. Meski penyembelihan itu digantikan seekor hewan, di hadapan Tuhan ketiganya lulus sebagai insan bertaqwa yang memiliki jiwa berkorban tinggi. Ketiganya sebagai role-model atau uswah hasanah, selaku insan profetik yang rela berkorban untuk kepentingan orang banyak. Ketiganya memberi contoh bagaimana bebas dari belenggu diri dan duniawi untuk menjadi insan yang memberi kemanfaat dan kebajikan terbaik bagi sesama dan dunia semesta.
Kepemimpinan Profetik Salah satu tawaran konsep kepemimpinan ideal diutarakan oleh Kuntowijoyo (1991) yaitu konsep Kepemimpinan Profetik. Implikasi dari konsep kepemimpinan profetik itu sendiri terlihat dari tiga aspek mendasar. Pertama, kepemimpinan profetik diarahkan pada penerapan nilai-nilai humanisasi. Kedua, nilai yang melepaskan manusia dari kebodohan, kemiskinan dan ketertindasan atau disebut liberasi. Ketiga, nilai humanisasi dan liberasi harus diarahkan pada nilai transendensi. Kepemimpinan profetik mempunyai unsur penting dalam penataan masyarakat madani. Nilai-nilai dasar shiddiq, amanah, tabligh dan fathonah sebagai nilai mutlak dalam menjalankan kepemimpinan.
Kepemimpinan profetik merupakan gabungan dari dua defenisi yang bisa diartikan ke dalam beberapa terminologi. Kepemimpinan profetik mempunyai dimensi yang sama dengan kepemimpinan pada umumnya. Kepemimpinan diidentikkan dengan kemampuan dalam mendorong dan memimpin anggota dalam mewujudkan visi bersama. Kemudian dimensi profetik menjadi poin penting, maka kepemimpinan harus didasarkan pada sifat dan karakter seorang Nabi, setidaknya bisa disamakan dengan upaya mewujudkan visi dan misi kenabian. Saat ini kita dihadapkan pada sengkarut politik berkepanjangan, hal ini terbukti dari menguatnya dominasi oligarki* dalam kekuasaan baik eksekutif maupun legislatif dan yudikatif.
Hukum dijadikan komoditas politik yang mengakibatkan adanya diskriminasi dan syarat kepentingan. Terjadilah tebang pilih dalam proses penegakan hukum, kebenaran hanya milik penguasa dan yang pro penguasa, keadilan sebagai tujuan utama yang diinginkan oleh masyarakat sulit didapatkan. Maka dalam konteks politik saat ini konsep kepemiminan profetik bisa menjadi solusi dalam menentukan kepemiminan masa depan.
Seyogyanya pemimpin adalah *pelayan masyarakat (perpihak kepada kepentingan masyarakat). Artinya, jika seseorang diamanahi untuk menjadi pemimpin maka tugasnya adalah berkorban dan melayani rakyat yang dipimpin.
Jika ingin menguji kepemimpinan seseorang maka berilah jabatan kepada orang tersebut dan kemudian lihat hasilnya.
“Jika dengan jabatan tidak berubah sikap dan karakternya maka dia termasuk pemimpin hebat. Namun jika yang terjadi sebaliknya, dengan jabatan yang disandang dia berubah dari yang baik menjadi sombong, menindas, semena-mena, berlaku kasar dan dzolim maka sesungguhnya dia bukan pemimpin yang baik,”
Kepemimpinan yang baik telah diajarkan oleh nabi, sahabat, khalifah dan orang-orang terdahulu. Bagaimana Khalifah Umar bin Abdul Aziz menerima anaknya di istana dengan tanpa lampu penerang, lantaran sang anak datang untuk kepentingan pribadi dan keluarga sedangkan lampu penerang dibiayai oleh pemerintah. maka dari itu, Umar bin Abdul Aziz mematikan lampunya.
Adakah pemimpin kita yang bersikap seperti itu. Tidak menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi, keluarga kelompok, bahkan partainya. Sejarah Kurban pertama , Manusia yang sadar merasa dirinya berhutang budi kepada Allah. Di dalam al-Qur’an ada sebanyak tiga kali kata qurban disebutkan. Dilukiskan, bahwa berkorban pertama yang dilakukan oleh manusia (dua anak Adam). Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 27 menyatakan:
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَاَ ابْنَيْ اٰدَمَ بِالْحَـقِّ ۘ اِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ اَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْاٰخَرِ ۗ قَالَ لَاَقْتُلَـنَّكَ ۗ قَالَ اِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللّٰهُ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ
“Dan ceritakanlah (Muhammad) yang sebenarnya kepada mereka tentang kisah kedua putra Adam, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka (kurban) salah seorang dari mereka berdua (Habil) diterima dan dari yang lain (Qabil) tidak diterima. Dia (Qabil) berkata, “Sungguh, aku pasti membunuhmu!” Dia (Habil) berkata, “Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang yang bertakwa.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 27).
Kata Prof.Dr.Quraish Shihab, keduanya memberikan kurban, akan tetapi satu kurbannya diteriman dan satunya tidak. Karena tidak diterima, maka kemudian Qabil mengatakan “Aku pasti bunuh kamu.” Lalu Habil menjawab “Allah hanya menerima kurban orang yang bertakwa kepadanya.”
Pada mulanya manusia sangat dekat kepada Allah Swt., akhirnya karena manusia berdosa maka dia menjauh kepada Allah. Setelah bertaubat baru akan dekat lagi. Dan salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada Allah adalah dengan cara berkurban.
Berkurban manusia
Dalam perkembangannya, manusia sadar bahwa semakin besar nilai yang dikurbankan, semakin tinggi nilai kurban, maka Allah semakin senang dengannya. Itu sebabnya, jika kita mampu berkorban dengan onta,kambing, kerbau dan sapi itu lebih besar. Karena kesadarannya akan semakin tinggi nilai kurban Tuhan semakin cinta, maka dalam sejarahnya manusia mencari apa yang paling tinggi dan yang paling mahal. Hingga akhirnya tibalah pada suatu saat mereka mempersembahkan manusia.
Sejarah mengenal bahwa orang-orang Meksiko menyembah dewa matahari, dan yang mereka persembahkan adalah jantung dan darah manusia sebagai sesaji. Orang Viking (pelaut yang berasal dari Skandinavia, sekarang Denmark, Norwegia dan Swedia) mereka menyembah Dewa Perang Odin, dan yang dia persembahkan adalah pemuka agama yang paling hebat. Mereka mengikatnya ke pohon kayu, lalu dilempar dengan lembing sebagai persembahan.
Sementara orang-orang Mesir mempersembahkan gadis yang paling cantik ke sungai Nil. Orang-orang Kan’an di Irak mempersembahkan bayi untuk Dewa Baal. Hingga pada Nabi Ibrahim AS orang mulai sadar, bahwa manusia sebenarnya terlalu mahal untuk dipersembahkan kepada Tuhan. Pemikir saat itu berkata jangan persembahkan manusia.
Mungkin alasannya, karena manusia terlalu bernilai. Hingga akhirnya Tuhan membatalkan. Berawal dari memerintah Nabi Ibrahim “Sembelih anakmu yang lebih kamu cintai dari dirimu.” Dan akhirnya Ismail diganti dengan domba. Pertanyaannya adalah, kenapa tidak sejak semula Tuhan menggantinya?
Masih menurut Prof Dr Quraish Shihab, Tuhan seakan-akan mau menyatakan seperti ini : “Hai para pemikir-pemikir dan manusia yang menyatakan dirinya pandai bahwa manusia tidak wajar dikorbankan demi Tuhan. Tidak. Manusia yang paling kamu cintai pun jika Tuhan sudah memerintahkannya untuk dikurbankan, maka harus dan wajib dilakukan. Buktinya saya suruh kamu berkurban. Tetapi karena saya cinta manusia maka jangan korbankan manusia, dan saya ganti dia dengan domba. Jadi jangan berkata manusia terlalu mahal.”
Sejak itulah kurban yang perintahkan adalah domba. Orang kalau mau berkorban jangan setengah-setengah. Itu sebabnya, syarat kurban adalah harus sempurna jangan yang cacat, dan yang dikorbankan adalah binatang. Dalam hal ini, kita diperintah untuk menyembelih sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri kita. Contohnya *seperti sifat rakus, sombong, tamak dan lainnya.
Karena itu sebenarnya ada kaitan yang sangat erat antara berkurban dengan moral. Orang yang tidak bermoral maka dia tidak mau berkurban. Semakin tinggi akhlaknya seseorang, maka semakin bersedia dia untuk berkurban.
Bagaimanapun juga kita adalah makhluk sosial, tidak bisa hidup sendirian. Artinya kita membutuhkan yang lain. Demi memperoleh kebutuhan kita dari orang lain, kita harus mengorbankan sebagian dari kepentingan kita. Misalnya dijalan raya kita mau pulang cepat, sementara mobil ada juga yang mau lewat, dan satu sisi ada pengaturan lalu lintas lampu merah. Tentu saja kalau lampu merah kita menjadi korban. Tetapi itulah akhlak.
Sebab, jika tidak ada lampu merah maka yang terjadi adalah tabrakan. Maka demi mengatur lalu lintas hidup, maka sebagian kita harus mengorban kepentingannya demi orang lain. Namun, pada saat kita mengorbankan kepentingannya demi orang lain, sebenarnya kita lebih banyak memperoleh dari apa yang kita tuju.
Sederhanya, hidup ini memerlukan pengorbanan. Itulah akhlak. Dan ajaran Idul Adha ini sebenarnya mengajarkan kurban. Satu lambangnya yang disyariatkan adalah menyembelih binatang. Sementara lambang penghormatan kepada manusia adalah membagikan dagingnya. Dalam al-Qur’an Surat Al-Hajj ayat 36 dikatakan:
وَالْبُدْنَ جَعَلْنٰهَا لَـكُمْ مِّنْ شَعَآئِرِ اللّٰهِ لَـكُمْ فِيْهَا خَيْرٌ ۖ فَا ذْكُرُوا اسْمَ اللّٰهِ عَلَيْهَا صَوَآفَّ ۚ فَاِذَا وَجَبَتْ جُنُوْبُهَا فَكُلُوْا مِنْهَا وَاَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَـرَّ ۗ كَذٰلِكَ سَخَّرْنٰهَا لَـكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
Dan unta-unta itu Kami jadikan untukmu bagian dari syiar agama Allah, kamu banyak memperoleh kebaikan padanya. Maka sebutlah nama Allah (ketika kamu akan menyembelihnya) dalam keadaan berdiri (dan kaki-kaki telah terikat). Kemudian apabila telah rebah (mati), maka makanlah sebagiannya dan berilah makan orang yang merasa cukup dengan apa yang ada padanya (tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami tundukkan (unta-unta itu) untukmu agar kamu bersyukur.” (QS. Al-Hajj [22]: 36).
Secara tidak langsung, ini membuktikan bahwa kita tidak mementingkan diri sendiri, melainkan juga memperhatikan orang lain, terlebih orang kelas bawah. Tetapi ingat, bahwa yang dinilai oleh Tuhan adalah ketakwaannya, bukan aliran-aliran darahnya. Inilah makna dan ajaran-ajaran Idul Adha.
Dengan mengamalkan ajaran Idul Adha secara utuh, umat Islam diharapkan tidak hanya menjaga hubungan vertikal dengan Tuhan, tetapi juga menjalin hubungan horizontal yang harmonis dengan sesama manusia, menciptakan masyarakat yang lebih berempati dan adil.
1. Berani Berkorban – Identifikasi dan lepaskan apa yang menghalangi potensi terbaik Kita
2. Konsisten Berusaha – Bangun sistem dan rutinitas yang mendukung goals jangka panjang
3. Ikhlas pada Proses – Fokus pada journey, bukan hanya destination
Ingat, setiap orang besar dalam sejarah memiliki “momen Ibrahim” saat dimana mereka harus memilih antara comfort zone dan calling mereka. Idul Adha bisa menjadi momen Ibrahim Kita. Sebaik dan setulus apapun dirimu, kebencian dari manusia itu pasti ada, jadi fokus pada tujuan dan biarkan dunia yang bercerita. Sedalam apapun kebenaran di tenggelamkan, Dia akan menemukan jalan untuk muncul kepermukaan (Raden Bindoro Bindoro Ali Muhsin Rofiey Notonegoro , Ama. Spd.I) Sekian sekelumit tentang Kepemimpinan Profetik dan idul adha . Semoga bermanfaat.
Billahitaufiq Wal Hidayah. Wallahu a’lam bisshawab.