Makanan Bergizi atau Kantong Pejabat Semakin Terisi

Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) sejatinya lahir dengan niat mulia: meningkatkan kualitas sumber daya manusia sejak dini. Anak-anak sekolah seharusnya mendapatkan makanan pokok, protein, sayur, buah, hingga susu demi tumbuh kembang yang sehat, cerdas, dan produktif. Namun, kenyataan di lapangan jauh dari harapan. Alih-alih mencetak generasi emas, banyak anak justru menjadi korban keracunan akibat makanan basi dan pengelolaan dapur yang amburadul.

Pertanyaannya: apakah ini sekadar masalah teknis, atau justru bukti bahwa program ini hanyalah proyek politik untuk memenuhi janji-janji kampanye presiden, sementara di bawah, oknum-oknum rakus menjadikannya ladang bisnis basah?

Ladang Subur Korupsi Baru

Anggaran raksasa yang mencapai Rp 400 triliun adalah godaan besar. Dari pengadaan bahan baku, pencairan dana, hingga distribusi di sekolah dan pesantren, semua celah terbuka lebar bagi praktik korupsi “ketok harga”, mark-up, hingga penyunatan kualitas. Ironisnya, anak-anak yang dijanjikan gizi malah muntah karena ikan bau, ikan berbelatung, daging bau, susu kadaluwarsa, dan sayur layu. Bukankah ini indikasi jelas bahwa pengawasan hanya formalitas, sementara kantong pejabat semakin terisi?.

Rakyat Jadi Kelinci Percobaan

Pemerintah terus menjual mimpi bahwa MBG adalah langkah besar menuju Indonesia bebas stunting 2045. Namun, fakta di lapangan membuktikan rakyat lebih mirip kelinci percobaan. Distribusi makanan dilakukan tanpa standar penyimpanan, tanpa pasokan air bersih, tanpa evaluasi rantai pasokan bahan lainnya. Akibatnya, anak-anak di pelosok desa hingga kota justru tumbang satu per satu. Generasi yang seharusnya cerdas malah terancam masa depannya.

“Generasi Bangsa tumbang satu persatu di berbagai daerah dari pelosok desa hingga perkotaan karena asupan makanan yang seharusnya bergizi, berprotein tinggi, dan seharusnya bisa menunjang pertumbuhan fisik, otak, dan kognitif anak. Justru sebaliknya malah akan menimbulkan masalah baru, seperti makanan yang basi, ikan bau, ikan berbelatung menjadi asupan gizi brutal, sehingga di bawah banyak mengakibatkan anak-anak trauma dan takut untuk memakannya. Inilah terjadi di berbagai daerah”

Pengawasan yang Bocor

Klaim pemerintah bahwa makanan terkontaminasi dicegah sebelum dikonsumsi terasa janggal ketika keracunan massal tetap terjadi. Ini bukti sistem pengawasan bocor. SOP yang digadang-gadang tidak dijalankan, dan regulasi hanya jadi dokumen mati. Bila tidak ada tindakan tegas, MBG akan berubah menjadi skandal nasional yang merugikan rakyat dua kali: hilangnya uang negara, sekaligus hancurnya kesehatan generasi penerus Bangsa dan Negara.

“Pemerintah harus memperketat cara pengelolaan di dapur-dapur yang telah di sediakan oleh pemerintah, karena di bawah banyak oknum nakal atau penangung jawab dalam penyaluran MBG hanya ingin mengambil keuntungan belaka dari pada menseriusi asupan gizi yang benar terhadap anak didik di sekolah-sekolah.”

Harus Ada Evaluasi Serius

Pemerintah tidak boleh sekadar mengumbar janji di podium. Eksekutif dan legislatif wajib turun langsung ke dapur MBG, memeriksa air bersih, kualitas bahan, serta kesiapan sekolah dan pesantren. Pengawasan tidak bisa diserahkan hanya kepada satu badan, tetapi harus melibatkan semua stakeholder—dari Kemenkes, Dinas Pendidikan, LSM, hingga insan pers.

Jika dijalankan serius, MBG bisa membuka lapangan kerja baru dan mendorong ekonomi rakyat. Namun, jika dibiarkan seperti sekarang, program ini hanya akan menjadi lahan korupsi baru dengan korban anak-anak bangsa.

Maka dari itu eksekutif harus hadir ke bawah survi langsung terutama dalam menjaga kebersihan di dapur MBG, dan yang paling utama juga, sebelum di distribusikan adalah pasokan air bersih untuk mencuci beras, sayuran, ikan dan makanan lainnya dan di sekolah apakah sudah dipersiapkan tempat mencuci tangannya.

Opini Redaksi

Program sebesar MBG tidak boleh dijalankan dengan logika proyek politik. Anggaran jumbo tanpa pengawasan adalah bom waktu. Pemerintah harus segera menghentikan praktik asal-asalan, melakukan evaluasi menyeluruh, dan memastikan bahwa uang rakyat benar-benar digunakan untuk masa depan rakyat—bukan untuk mempertebal kantong pejabat.

Penulis : Cak Ma’el

Ketua Komunitas Jurnalis Jawa Timur (KJJT) Wilayah Pamekasan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *